Monday, August 15, 2011

PESANTREN ANNUR CIDOKOM

“An Islamic Traditional Education for Creative Generation”

Pesantren Annur Cidokom (Darunnajah 8) merupakan lembaga pendidikan Islam yang berfokus kepada pendidikan keagamaan dan pembentukan karakter santri, memanfaatkan media kreatif dan teknologi informasi sebagai ciri khasnya.

Pesantren Annur merupakan pesantren wakaf yang beroperasi sejak Desember 2006. Pesantren ini merupakan cabang ke-8 Pondok Pesantren Darunnajah di bawah Yayasan Darunnajah Jakarta. Dikenal juga sebagai Pesantren Multimedia Annur karena visi khasnya terkait dengan bidang informasi tekhnologi.

Pesantren Annur diharapkan dapat melahirkan kader pemimpin ummat Islam di berbagai bidang kehidupan yang siap berdakwah dan mempunyai kualitas untuk hidup di era informasi dan teknologi.



Profil Pendidikan

Sistem pendidikan dan pengajaran yang diterapkan adalah menggabungkan antara sistem pondok pesantren dengan pendidikan nasional.

Sistem pendidikan Tarbiyatul Mu’allimin/mu’allimat al-Islamiyah (TMI) adalah sistem pengajaran yang khas dikembangkan oleh Pondok Pesantren Darunnajah yang fokus menyiapkan kader pemimpin agama Islam yang diadopsi dari sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern Gontor Ponorogo.

Program ini menitikberatkan kepada pembentukan karakter dengan membekali santri pengetahuan agama Islam dan kemampuan berdakwah yang bisa diterapkan di segala lini kehidupan serta keterampilan hidup life skills yang paling mendasar yang dibutuhkan oleh peserta didik.

Disisi lain, sistem pendidikan formal yang saat ini dipakai adalah sistem pendidikan yang menginduk pada Kementrian Pendidikan Nasional (Diknas) dengan membuka lembaga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Multimedia. Program ini akan membekali santri kemampuan untuk berfikir kreatif (out of the box thinking) dan mental wirausaha (entrepreneurship) khususnya keahlian yang berkaitan dengan dunia teknologi informasi dan multimedia. Insya Allah dalam waktu dekat juga akan di buka Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dengan menggabungkan dua sistem pengajaran ini, diharapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin di segala bidang yang mempunyai akhlak dan karakter Islami sekaligus memiliki jiwa kreatif serta keahlian tekhnologi multimedia sehingga mampu berperan di era teknologi informasi.

Namun, program andalan dalam pendidikan di Pesantren Annur yang sesungguhnya adalah sistem kepengasuhan santri yang juga diterapkan di lembaga induk, Pesantren Darunnajah Jakarta.

Sistem ini merupakan ciri khas pendidikan integral dari pondok pesantren yang memanfaatkan lingkungan asrama terpadu dengan menggunakan pola pendidikan ala Rasulullah, pendidikan melalui keteladanan. Tidak hanya berperan sebagai pengajar, para pengasuh dan pendidik di lingkungan pesantren juga berperan sebagai orang tua asuh yang akan memberi arahan dan tauladan serta menjaga lingkungan dan akhlak santri selama 24 jam.



Sistem kepengasuhan ini juga menggunakan disiplin sebagai alat pembentukan karakter santri dengan melibatkan santri sebagai pihak yang aktif dalam organisasi santri. Berbagai macam kegiatan ekstra kurikuler diadakan sebagai wadah kreatifitas santri termasuk ekstra kurikuler yang berkaitan dengan olahraga, seni, Pramuka, dan tentunya dunia teknologi multimedia.

Selain itu, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris menjadi bahasa resmi yang wajib digunakan didalam kegiatan sehari-hari santri. Lingkungan pesantren pun menjadi Laboratorium bahasa aktif yang dibentuk oleh kebiasaan dan disiplin.

Seluruh elemen tersebut menyatu menjadi sebuah kesatuan pendidikan yang integral dan menyentuh seluruh indra pembelajaran santri.


B. Sejarah Pesantren Annur (Darunnajah 8)

2005
Pada Oktober 13, 2005, Bapak (Alm) Yusuf Gayo mewakafkan 2,5 Hektar bidang tanah di cikal lokasi lahan pesantren yang terletak di Desa Cidokom, Gunung Sindur Bogor kepada Pihak Yayasan Darunnajah Jakarta dengan maksud untuk dikembangkan menjadi lembaga pendidikan pesantren. Maka dimulailah aktifitas dilokasi tersebut mewujudkan Pesantren Annur Cidokom sebagai Cabang Darunnajah yang ke-8 dibawah Yayasan Darunnajah.

Hal tersebut dimulai dengan proses pendidikan informal di sekitar lahan pesantren di Desa Cidokom dengan mengadakan pengajian-pengajian, TPA untuk masyarakat sekitar. Dipimpin oleh Muhammad Averus dan Soleh Ahyani, ustadz alumnus PM Gontor yang ditunjuk langsung oleh Pimpinan Pusat Pesantren Darunnajah Jakarta. Alhamdulillah, dukungan masyarakat, maupun aparat Desa setempat sangat positif, termasuk Lurah Dahlan dan para pemuda desa yang bergabung di dalam barisan guru.

Pada saat itu dimulai pembangunan gedung Aula dan kamar mandi sebagai fasilitias penunjang untuk kegiatan kepramukaan Darunnajah group. Pada tahun ini pula dimulai pembangunan gedung asrama pertama yang didanai dari sumbangan Wakil Presiden RI saat itu, Bpk Yusuf Kalla.

2007
Pada Juli 2007, lembaga formal pertama resmi dimulai, yaitu SMP dan SMK (multimedia) dengan Kepala Sekolah Ustadz Samiyono dan Ustadz Alan masturo. Murid pertama 13 santri (pulang pergi) yang berasal dari daerah sekitar.

Pada tahun ini dimulai pembangunan Masjid Annur Cidokom didanai sumbangan dari Asian Moslem Charity Foundation (AMCF) dan pembangunan gedung Darunnajah yang berasal dari Swadaya Darunnajah.

2008
Pada Juli 2008, ditunjuk tim adhoc, sebagai pengasuh sementara yang terdiri dari Anggota Tim 19 Darunnajah Ulujami dan Ustadz Wahyu Fajri. Jumlah murid pulang pergi 32 serta dimulainya program santri mukim sejumlah 5 santri (3 putra dan 2 putri). Tahun ini pula program Isyrof (limpahan) pertama dari Darunnajah Ulujami sejumlah 30-an santri selama 6 bulan.

2009
Desember 2009, pimpinan pesantren saat ini, Ustadz Hadiyanto Arief mulai aktif di Cidokom meskipun masih tinggal di Jakarta. Beliau dibantu oleh sekitar 14 guru mukim.



2010
Dimulainya pembangunan kelas dan asrama putri secara swadaya Darunnajah Ulujami. Tercatat pada Juli 2010, Jumlah santri mukim berjumlah 34 santri, sedangkan santri PP berjumlah 53, total 87 santri.

2011
Keluarga (alm) Yusuf Gayo kembali mewakafkan sebidang tanah seluas 8924 m2 di belakang tanah wakaf awal. Perluasan tanah ini dibarengi usaha perluasan secara swadaya dengan dibelinya tanah disamping tanah wakaf tersebut dengan 3 bidang tanah seluas : 1591, 1475 dan 1906 m2. Sehingga total perluasan tanah pada tahun ini seluas 13,996 m2.

Juli 2011, jumlah santri meningkat pesat pada ajaran ini, berjumlah 126. Santri muqim berjumlah 108 santri.




Friday, August 12, 2011

Bullying dan Urgensi Revitalisasi OSDN


Bismillahirrahmanirrahiem, wa maa nuriidu illa-l-ishlah.

Akhir-akhir ini sedang hangat kasus bullying di lembaga kita tercinta dan banyak mendapat perhatian khalayak luas, termasuk orangtua dan alumni.

Terus terang, ini agak mengusik perhatian saya dan seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih mendalam dari seluruh stakeholder Darunnajah.

Sebelumnya, harus difahami terlebih dahulu bahwa dalam menangani kasus bullying serupa, lembaga Darunnajah dan para pengasuh tentu tidak tinggal diam dan saya percaya para personil, terutama di Biro Pengasuhan Santri telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi dan mengungkap kasus2 tersebut.

Tetapi apakah cukup tindakan mengungkap kasus yang menurut saya masih bersifat responsif (dan kuratif) tersebut? Bukankah tindakan pencegahan adalah lebih baik dari pengobatan?

Maka sudah seharusnya dikepala kita timbul pertanyaan, Apa sebenarnya AKAR MASALAH yang menyebabkan kasus semacam ini sering terjadi? Lalu solusi atau langkah apakah untuk jangka panjang yang harus diambil untuk memperbaiki keadaan?

Berfikir sistem; Itu saya rasa kunci jawabannya.

Saya akan coba menjabarkannya dengan menggabungkan pengalaman pribadi, baik menjadi santri ataupun pengasuh, dengan beberapa konsep manajemen yang saya pelajari.

Seperti yang saya ungkapkan tadi, menurut analisis pribadi saya, ini adalah sebuah kelemahan dari sistem kepengasuhan yang dijalankan saat ini.

Beberapa permasalahan utama dan mendasar kenapa kadang terjadi kecolongan kasus serupa menurut analisis saya adalah sebenarnya sesuatu yang sederhana:

“berubahnya sistem dan struktur kepengasuhan santri di Darunnajah yang konsekwensinya mengakibatkan;
a). lemahnya sistem kontrol yang ada dan
b). tidak maksimalnya OSDN sebagai wadah penyaluran potensi serta wadah pendidikan karakter dan kepemimpinan”.

Akan saya coba jelaskan lebih lanjut.

Sebuah lembaga, baik itu profit ataupun non-profit hampir dipastikan mengalami phase yang sama dalam pertumbuhannya, begitu pula permasalahan-permasalahan khas yang biasa timbul di setiap tahapan. Begitu pula solusi-solusi yang biasanya dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ini digambarkan secara baik dalam sebuah Phases of Growth model yang dikemukakan L.E.Greiner melalui tulisannya “Evolution and revolution as organizational growth” (1972). Bisa dilihat dalam diagram dibawah.



Saat ini, saya lihat institusi Darunnajah di bidang kepengasuhan santri, dimana kasus ini menjadi tanggung jawabnya, ada di level ke 3.

Kepengasuhanan santri merupakan tulang punggung lembaga pesantren dan merupakan keunggulan dibanding sekolah-sekolah non-pesantren. Di Darunnajah, bidang ini di pimpin langsung oleh KH.Mahrus Amien dibantu oleh Biro Pengasuhan Santri (BPS).

Dalam penjelasan Greiner, sebuah lembaga yang berada di phase ini, isu yang utama yang harus dilalui lembaga tersebut untuk bisa terus berkembang adalah isu kontrol (pengawasan). Sedang solusi yang biasanya efektif bisa dipergunakan untuk menyelesaikan adalah dengan pendelegasian (delegation).

Ilustrasinya begini, sebagai seorang manusia biasa, setiap orang tentu punya span control (jangkauan kontrol) yang terbatas. Rasio ideal dalam kontrol adalah kira-kira 1:10. Satu orang mengontrol 10 orang. Begitupun Ayahanda Kiai Mahrus sebagai Pengasuh dan Pimpinan dibidang kepengasuhan santri.

Beliau tidak mungkin langsung mengontrol 2200 santri karena jangkauan kontrolnya terlalu luas. Maka, beliau butuh asisten. Asisten tersebut adlah staff pengasuhan santri yang berjumlah sekitar 10 hingga 20 (10 putra dan 10 putri) sehingga kontrol beliau bisa efektif.

Staff pengasuhan santri inilah yang bertugas menggerakkan dan mengontrol santri.

Apakah mereka langsung mengontrol seluruh 2000-an santri Darunnajah? Tentu idealnya tidak karena jangkauan kontrol (span of control) nya masih terlalu luas dan akan menjadi tidak efektif. (1:100). Apalagi mengingat intensitas kerja dan permasalahan yang mungkin timbul karena santri muqim selama 24 jam sepanjang tahun.

Untuk itulah seharusnya mereka memberdayakan santri senior yang terlibat di OSDN. (biasanya sekitar 100 hingga 200 santri yang terlibat di dalam OSDN). Sehingga span of control-nya pun menjadi ideal. (rasio 1:10) Ini pula yang di terapkan di PM Gontor hingga detik ini.

OSDN tersebut yang selanjutnya akan menggerakkan dan mengontrol 2000-an santri tersebut melalui sub-struktur dibawahnya termasuk organisasi di rayon-rayon dan yang terkecil di kamar kamar.

Dibawah ini adalah pola struktur kepengasuhan Darunnajah di tahun 80-90-an (penulis nyantri di DN mulai tahun 88-91). Sistem ini diadopsi dan diterapkan dengan sangat efektif di PM Gontor Ponorogo hingga saat ini (penulis nyantri di Gontor th 91-96).




Permasalahannya sekarang timbul karena berubahnya sistem penggerak roda ini, terutama di roda OSDN yang tidak lagi berjalan seperti fungsi utamanya.

Mari kita lihat perubahan struktur beberapa tahun terakhir. Begini kira-kira strukturnya (de facto tapi mungkin tidak de jure).




Apa yang berubah?

Mungkin tidak banyak struktur yang berubah selain bahwa salah satu yang mencolok adalah gemuknya struktur dibawah Kiai yang berada di level asatidz (karena untuk kepengasuhan santri di luar kelas, di level ustadz, selain BPS ditambahkan pula kelompok yang tergabung di dalam Musyrif).

Selain itu, bukan sekedar jumlah, tapi ada juga catatan bahwa ada pelimpahan dan pengurangan tanggung jawab dan wewenang yang dulu diemban oleh OSDN kepada personal di level asatidz.

Antum ingat kan dulu waktu kita nyanti di DN zaman 80 atau 90-an bagaimana berperannya OSDN dalam pendidikan santri keseluruhan?

Saya masih ingat bahwa orang yang ditakuti dan disegani adalah Ketua OSDN dan Bagian Keamanan. Dari izin pulang sampe dibotak urusannya sama Bagian keamanan sebagai bagian dari OSDN. Absen kamar pun intens diadakan. Merekalah yang bertugas mengontrol adik-adik kelas mereka, mendisiplinkan mereka dan membimbing mereka dalam kesehariannya.

Ketertiban kamar, urusan bulis, bahkan keamanan lingkungan, kebersihan menjadi tanggung jawab bersama santri dengan adanya bulis.

OSDN itulah yang juga menjadi wadah pendidikan kepemimpinan, wadah pelatihan keorganisasian, wadah pengembangan karakter sekaligus pemberdayaan kemandirian santri. Intinya, di OSDN inilah justru nilai-nilai keunggulan tersebut terkandung.

Lebih lanjut lagi, OSDN itu jugalah yang menjadi sarana “pelampiasan” energi dan potensi yang besar dari santri senior yang mulai tumbuh dewasa, tentunya dalam bentuk yang positif.

Mereka yang berprestasi dan berakhlak bisa menjadi pengurus. Mereka yang galak mungkin cocok jadi bagian keamanan. Mereka yang pintar bahasa dipercaya bagian bahasa, dsb. Tentunya dengan bimbingan dan pengawasan ketat Pengasuhan santri.

Mereka dilibatkan dan menjadi partner bagi pengasuh untuk mengelola diri sendiri dan adik-adik mereka.

Santri menjadi subjek pendidikan.

Maka jika ada yang agak kebablasan, ataupun melakukan kesalahan dalam menghukum misalnya, hal tersebut adalah wajar karena memang merupakan sebuah proses pembelajaran (kepemimpinan) dan kaderisasi.

Hal inilah yang hilang atau setidaknya melemah dari Darunnajah.

Pertanyaannya, kenapa?

Salah satu alasan, Kemungkinan besar karena lokasi khas Darunnajah yang terletak di perkotaan dan kurangnya transformasi (pemahaman) nilai-nilai kependidikan terhadap stake holder Darunnajah (walisantri, alumni, masyarakat dsb).

Tanpa idealisme kepengasuhan yang kuat, sebagai pesantren yang berlokasi di Ibukota, DN menjadi sasaran tembak yang rapuh dari kemarahan dan ketidakfahaman sebagian wali santri akan sistem pendidikan yang ada.

Contoh seperti komentar di FB terkait masalah bullying yang mengatakan bahwa “anak 17 tahunan masih ingusan disuruh ngurus ade2 kelasnya jadi pengurus OSDN, psikologinya sebenernya gak bener sama sekali” atau semacamnya adalah komentar yang sering dikumandangkan oleh wali santri yang tidak faham pendidikan pesantren yang dianut oleh Darunnajah.

Walhasil, Karena banyaknya tekanan dari pihak luar, (terutama wali santri ) wewenang yang seharusnya di delegasikan oleh pimpinan kepada santri senior mulai dikurangi. Itulah yang terjadi dengan OSDN, dilemahkan dan dihilangkan keterlibatannya serta dikurangi tanggung jawabnya didalam mengurus santri dan kehidupan mereka sendiri.

Contohnya, Pengelolaan sub-sub kamar di rayon-rayon-pun yang dulu menjadi sarana pendidikan kepemimpinan dan kemandirian untuk santri senior mulai dilimpahkan (meskipun tidak sepenuhnya) kepada muysrif (dari unsur Ustadz dan Mahasiswa), termasuk izin keluar, mendisiplinkan santri dsb.

Diluar itu, keamanan lingkungan yang dulu menjadi tanggung jawab santri, seperti bulis, baik siang maupun malam pun digantikan dengan satpam. Kebersihan lingkungan yang dulu menjadi tanggung jawab bersama santri-pun mulai diserahkan kepada karyawan. (meskipun Alhamdulillah, tanggung jawab ini mulai dikembalikan meskipun belum sepenuhnya)

Sederhananya, santri yang dulu dipercaya menjadi subjek, bisa dibilang saat ini diposisikan sekedar menjadi objek.

Dalam konsep manajemen oleh Greiner tadi diatas, pendelegasian yang seharusnya menjadi solusi untuk sistem kontrol efektif lembaga di tahap ini tidak semulus yang diinginkan.

Walhasil, Ayahanda Mahrus Amin saat ini “terperangkap” didalam tugas dengan jangkauan kontrol yang sangat luas. (1 kiyai:100 asatidz)

Dalam tataran praktek harian, Ayahanda setiap subuh setiap harinya mencoba mengatur, mengomandoi dan mengontrol melalui forum majlis fajr, tidak saja dengan mengumpulkan 10-an asatidz pengasuhan santri, tetapi juga sekitar 100-an musyrif yang terdiri dari ustadz-ustadz muda dan mahasiswa ma’had ali tadi.

Rasio kontrol beliau pun menjadi 1:100. Seingat saya jarang sekali seluruhnya bisa kumpul, rata-rata perhari hanya 20-30% yang hadir. (Hal ini diperparah kualitas 100-an asatidz tadi bukanlah dipilih atas dasar kualitas pilihan, tetapi hanya kebetulan tinggal didalam karena masih bujang).

Maka Antum bisa tebak apa yang terjadi kan?

Dengan besarnya rasio tersebut, sistem kontrol menjadi tidak efektif.

Diluar itu, dengan tidak maksimalnya pemberdayaan santri (senior), maka itu sebuah bukti akan hilangannya sebagian besar kesempatan untuk mengembangkan diri terutama dibidang kepemimpinan karena memang tidak diberi kepercayaan. Energi dan potensi mereka pun tidak tersalurkan secara terprogram dan mereka akan mencari jalan sendiri mengeluarkan energi tersebut. Bullying pun rawan muncul.

Tentunya hal diatas bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan timbulnya kasus-kasus bullying. Tetapi minimal saya percaya bahwa jika sistem kepengasuhan bisa dikembalikan kepada kondisi idealnya, insya Allah bisa menambah efektifitas sistem kontrol dan mengurangi kasus-kasus yang ada.

Banyak yang harus dilakukan jika ingin mengembalikan kepada kondisi ideal.

Secara bertahap, diantara yang harus dilakukan adalah secara bertahap dan sistematis mengembalikan tanggung jawab dan wewenang kepada OSDN. Kembalikan wewenang mengatur dan mengelola rayon-rayon dan kamar-kamar kepada santri senior. Beri mereka tanggung jawab dan wibawa dihadapan santri junior. Libatkan mereka dalam kepanitiaan secara maksimal, minimalisir keterlibatan asatidz dan batasi hanya sebagai pembimbing. Hidupkan kembali club-club ekstra kurikuler. Buat program-program yang bersifat kompetitif sehingga ada persaingan yang konstan.

Sibukkan mereka dengan program yang terstruktur dan kontinyu sehingga tidak ada waktu kosong tersisa.Innasyabaaba wal faroogho wa-l-jidata mafsadatun lil mar’I ayyi mafsadatin.

Intinya adalah; revitalisasi OSDN.

Karena saya yakin, bahwa penugasan untuk santri (tentunya dengan bimbingan dan pengawasan para asatidz) adalah bentuk pendidikan terbesar yang akan mereka terima.

Is it still experience is the best teacher?

Wallahu a’lam bisshowab.

Friday, April 16, 2010

Alhamdulillah, Naik Kelas



Alhamdulillah, sudah satu bulan ini hidup di kelas yang lain. TDA! Tangan di Atas. Al-Yad al 'Ulya istilah Arabnya. Atau meminjam istilah Kiyosaki dalam best seller "Rich Dad Poor Dad"nya, geser ke kuadrant kanan dalam konsep Cash Flow Quadrant-nya.

Meskipun dimulai dengan skala yang kecil, Usaha Laundry Kiloan, Alhamdulillah ini merupakan suatu "Giant Leap" dalam pengalaman pribadiku. Tak besar memang kalau dibanding bisnis2 yang kubangun sebelumnya; DN tours n Travel, DN Production House, Edukasia Monthly Parenting Magazine, tapi meskipun skala kecil, insya Allah ini merupakan pintu masuk menuju Quadrant Kanan yang akan terus dikembangkan sistemnya.

Hitung-hitung sekaligus memberdayakan bakat mantan pacarku, Bunda Kirana, yang sehari-hari berkutat dan mengawasi proses operasionalnya.

Mulai saat ini, Alhamdulillah sudah menerapkan satu lagi ajaran Rasul untuk memposisikan tangan selalu ada di atas.. Alhamdulillah..



http://cleangreenlaundrykiloan.blogspot.com

Monday, March 8, 2010

Pemimpin: Tak Membawa Apa-apa dan Bicara Makna

Lagak seorang pemimpin itu tidak membawa apa-apa. Dengan kata lain bahwa ajudan, staf, atau cantrik-cantriknya siap menjinjing keperluan. Itu data permulaan. Kepemimpinan apa pun, di mana pun, siapa pun, dan hingga kapan pun. Hampir sama beda-beda tipis saja.

Dalam dunia militer, misalnya atau sejenisnya --komandan-- ialah figur pimpinan. Di level dan strata mana saja. Demikian dia dipanggil oleh bawahan atau anak buahnya. Tangan komandan tak memegang apa-apa. Kecuali tongkat dalam genggaman. Simbol kedudukan juga kekuasaan (komando). Pemimpin itu dilingkupi banyak kewenangan.

Kewenangan adalah hak untuk berbuat dengan konsekuensi memikul tanggung-jawab. Jangan pimpinan berbuat tetapi anak buah menanggung akibat. Atau ia menjawab sekedar cari selamat (safety player) menghindari sebuah pertanggungan. Kepemimpinan itu tidaklah demikian.

Di dunia non militer pun dijumpai hal yang sama. Ia juga tidak membawa apa-apa. Kecuali sedikit di genggaman. Tak mengejar ujub, pamrih, bukan pula meraih riya.

Sosok pemimpin di mana pun (wajib) terjaga atas fasik - bisulnya dunia. Menjauh diri dari zinah, mencuri, mengadu nasib, syirik, mabuk, sombong, durhaka, menipu, tidak ikhlas, miskin, membunuh sesama iman, memakan harta (anak yatim) bukan haknya, serta menghindari fitnah yakni hasut, dengki, dan sakit hati.

Zinah itu artinya salah tempat. Analoginya dalam kepemimpinan bermakna: tidak proporsional. Seorang pemimpin tak boleh bertindak (zinah) sesuatu di luar porsinya - bukan wewenangnya. Istilahnya abuse of power atau kesewenang-wenangan. Bisa merugikan orang. Atau ia mengerjakan syirik menghamba selain-Nya. Seperti memuja harta, takhta, dan wanita.

Pemimpin itu tidak boleh miskin. Agar terhindar fitnah. Ia harus kaya. Sugih bondo jembar ilmu. Terutama jembar (luas) hati dan wawasannya. Supaya mampu berlaku adil bagi semua sesuai kebutuhan. Jangan seperti Pak Ogah di simpang jalan. Kesempatan diberikan kepada orang cuma karena imbalan. Tidak perduli antrian sudah panjang.

Mutlak yang tidak boleh bagi pemimpin ialah miskin iman. Tatkala jatuh miskin terhadap iman maka inilah titik awal. Ia dapat berubah sombong lagi ingkar. Adigang adigung adiguno. Lalu mengambil-alih wewenang Tuhan. Sesuka-hati membunuh sesama iman (korp).

Pasrahnya pimpinan berefek pada ikhlas pemikiran. Tulus lelaku dalam keseharian. Menghindari angan-angan (mabuk), karena itu perilaku setan. Bertindak sesuai data. Tidak mengada-ada. Punya visi dan prediksi jauh ke depan tetapi bukan bersifat untung-untungan. Sebab, untung-untungan identik berjudi. Mengundi nasib dengan busur di sebuah permainan.

Pemimpin itu cermat jika meramal keadaan. Cemerlang pada pemikiran. Juga tahan terhadap godaan. Menyimpan bara juang tidak pernah padam. Analisanya ibarat sembilu. Tajam sesuai strata yang diemban. Biasanya ia punya kemampuan di luar (domain) kelaziman.

Hal tabu bagi pemimpin yakni mengambil harta bukan haknya. Oleh karena jika termakan anak istri itu laksana menelan bara api - niscaya tumbuh tanduk di atas kepala putra-putri. Siapa hendak diseruduk maka orang tuanya kali pertama.

Sikap hormatnya tak putus-putus terhadap hikmah sebab itu simpul rajutan antara doeloe, kini, dan ke depan. Kalau suatu hari ia bergelimang harta titipan, dilakoni ae (dijalankan saja -red). Itu sekedar dampak hukum alam. Tak usah busung dada. Apalagi sampai lupa daratan.

Pemimpin itu tak membawa apa-apa. Akan tetapi konsekuensi dari kepemimpinan harus membawa "apa-apa" (bekal). Sedangkan makna 'sedikit pada genggaman', itulah yang disebut orang sebagai amanah, ketulusan, serta kepasrahan. Semua itu berasal dari Dia dan kembali kepada-Nya, yaitu Rabb yang Maha Abadi.

Pemimpin Sejati Bicara Makna
Ibarat burung --sosok pemimpin-- siapa pun orangnya, berkicau (bicara) adalah kepastian. Baik melalui lisan maupun tulisan. Begitulah ia bekerja. Beda dengan anak buah. Pemimpin apa saja, kapan saja, di tingkatan dan lini mana saja. Entah saat briefing staf dan anggota, diskusi, atau bargaining sesuatu. Lebih-lebih tatkala mengambil keputusan bagi organisasi dan kelompok. Atau ketika ia berpidato di depan khalayak. Berbicara bagi kepemimpinan adalah keniscayaan.

Bicara pemimpin bukan mengurai maksud. Atau soal arti semata. Tetapi, omongan sarat makna. Bukan berarti ia tidak suka bercanda. Pepatah Jawa "ngono yo ngono ning ojo ngono". Tidak usah banyak bicara. Apalagi memberi statemen terhadap hal di luar kewenangan, bukan level, atau jauh dari koridor tugasnya. Percuma. Tidak berguna.

Ketika seorang pemimpin tidak menjawab tentang sesuatu bukan berarti ia tidak paham jawaban. Atau tidak mengerti persoalan. Banyak alasan mengapa ia membisu. Oleh sebab tidak semua permasalahan dijawab. Tidak semua adegan diberi ulasan. Diamnya pemimpin ialah pilihan sikap yang ditampilkan.

Seperti cericit burung. Sesuatu yang dikicaukan merdu didengar, lembut dirasakan, sejuk laksana angin pegunungan. Nyanyian pemimpin membuat tentram berbagai kalangan. Menimbulkan rasa ayem semua lapisan. Itulah gerak-laku ikhlas menyatu. Antara lisan dan perbuatan (komitmen).

Satu hal yang mutlak dihindari oleh pemimpin adalah sikap "pagi kedelai sore tempe". Tidak boleh mencla-mencle. Satu irama. Bukan beragam nada. Namun, bila ada bisa ke mana-mana, ap aboleh buat - silahkan saja. Itu memang sudah warna dunia. Setiap jiwa membawa ukuran berbeda-beda.

Suatu ketika bila amarah tiba. Lihatlah gelombang batu karang, dengarlah pekik gelegar sang halilintar, rasakan dahsyatnya angin puting beliung berputar-putar. Menggetarkan jiwa-jiwa yang terluka. Mengerikan. Itu hanya gambaran.

Seperti sakti rajawali. Ia terbang melintas di ketinggian awan. Tiba-tiba menukik dengan kuku mencengkram. Lalu keras memekik di tengah kegamangan jiwa: haq .. haq .. haq! Mengejutkan! Marah pun ternyata tak sekedar menghambur bara. Namun, menggali lalu mengurai kusut benang keraguan. Meraih yang haq (benar). Bukannya mau menang sendiri. Tidak cuma benarnya sendiri.

Pemimpin berjuang bukan untuk satu dua orang, kelompok, atau golongan. Pikirannya jatuh pada semua kalangan. Bahkan, mengucur peluh dari suwung kesunyian. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Kerja tidak mau terlihat namun hasilnya luar biasa. Dinikmati banyak orang. Menjauhi sifat riya. Menjaga jarak dari puja-puji dunia.

Tutur katanya senantiasa bermanfaat. Bukan menimbulkan rasa resah di tengah-tengah rakyat. Tidak sekali memecah-belah umat. Apalagi cuma untuk kepentingan sesaat (politik praktis).

Pemimpin harus menguasai makna masalah. Artinya yang dituju bukan cuma seuntai maksud dari kalimat. Bukan pula penghias kulit sebuah kosa. Bicara pada tataran hakiki - kemudian temukan serta tentukan solusinya. Tidak perlu mengobral kata-kata. Mengurai inti masalah. Memecah pokok persoalan. Kemudian ia berbuat, berbuat, dan berbuat (doing) demi keselarasan, keseimbangan, serta kesejahteraan umat manusia.

Pemimpin itu tak bicara tetapi berbuat
Mengayun bakti dan juang tanpa terlihat
Sepi ing pamrih, rame ing gawe, semata untuk umat
Tatkala bertutur kata serta berbuat adalah manfaat
Demi keselamatan, keselarasan, dan kesejahteraan rakyat

Pemimpin itu tak membawa apa-apa
Kecuali sedikit dalam genggamannya
Amanah, kepasrahan, dan ketulusan rasa
Bukan pamrih, ujub, tak pula ada riya'
Menjauh dari fasik dan bisul wajah dunia

Pemimpin itu pengarung sejati
Melintas sunyi menguak gelap dunia
Menembus sepi mengurai remang hati
Menyelam samudra dzikir tak bertepi
Mengenal diri kemana bakal kembali

Pemimpin itu sendirian
Cuma berteman kebenaran
Tanpa kebenaran sendirinya tak berguna
Tanpa kebenaran kesendiriannya semu belaka
Bila kesendirian tak sesuai tuntunan dari Tuhannya
Jumpa beragam duga dan prasangka atas nama logika
Maka itulah kebenaran tanpa rasa, Cuma penafsiran belaka

Pemimpin itu tidak bicara
Juga tidak membawa apa-apa
Seperti rajawali ia terbang tinggi
Mengarungi gelap malam yang sunyi
Sendirian seolah tidak berteman hanya sendiri
Mengetahui Benar Jalan Hukum nan Kekal Abadi


Hamid Ghozali
Warung Contong Timur No 1 Cimahi
hamidghozali@hotmail.com