Thursday, August 6, 2009

Bersikap tidak profesional dalam mendidik.

Profesional. Di dunia modern seperti ini, segala sesuatu harus dilakukan secara profesional. Pekerjaan tertentu diserahkan kepada profesi dan ahlinya. Tidak terkecuali di bidang pendidikan.

Sebut saja Sekolah Internasional Dwi Warna di Parung misalnya. Mereka adalah salah satu contoh sekolah yang bisa dibilang menjunjung tinggi profesionalitas dalam manajemen pendidikan mereka.

Administratur dipilih dari mereka yang memang ahli didalam mengurusi administrasi, kalau perlu dipilih mereka yang kuliah minimal IPK 3.00 di bidang administrasi. Tenaga Satpam diambil dari pensiunan polisi yang bisa tersenyum, minimal pernah mendapatkan pendidikan satpam yang benar atau berpengalaman sebagai Satpam selama beberapa tahun. Begitupun penjaga toko franchise milik sekolah yang dipilih oleh lembaga outsource yang dipercaya sehingga tidak ada rutinitas mengajari murid baru pembukuan dagang. Jangankan Guru yang jelas-jelas berkaitan langsung dengan pendidikan, bahkan kalau perlu, kebersihan kelas dan lingkungan mereka di outsource ke perusahaan cleaning service ternama. Bayarannya? Jelas dibayar secara profesional sesusai standard nasional.

Intinya; seluruh bidang pekerjaan di serahkan kepada ahlinya masing masing. Profesional!

Lalu apa tugas murid? Ya sesuai dengan profesi mereka; belajar! Belajar di kelas ataupun dilibatkan di kegiatan intra atau extra kurikuler.

Orang tua pun rela membayar mahal asal putra-putri mereka dididik secara profesional oleh guru dan administratur dengan manajemen yang profesional. Dengan cara itu, mereka bisa fokus mengembangkan kemampuan akademis ataupun non-akademis lainnya. Mereka adalah “customer” yang harus di penuhi “kebutuhan” dasarnya; mendapatkan lingkungan dan pendidikan secara profesional. Bukan untuk disuruh nguras kamar mandi apalagi WC.

Keuntungan pola ini jelas; lembaga dan murid bisa fokus mengembangkan kemampuan mereka. Pihak manajemen pun tidak usah pusing dengan desain interior kantor mereka misalnya karena sudah diserahkan kepada ahlinya.

Hampir seluruh lembaga pendidikan terkemuka menerapkan system manajemen yang serupa dan ramai-ramai menyatakan bahwa lembaga mereka menerapkan manajemen pendidikan secara profesional. Hampir.

Hanya ada segelintir lembaga pendidikan yang sengaja menyatakan bahwa manajemen pendidikan mereka penuh dengan “ketidak profesionalan”. Ya. Tidak profesional!

Gontor contohnya.

Istilah ini dikemukakan Kiai Syukri Zarkasyi yang mengatakan bahwa Gontor memang sengaja bersikap tidak profesional didalam manajemen kesehariannya.

Dalam kesehariannya, benar bahwa tidak ada profesi yang benar-benar ahli di bidangnya di dalam lembaga tersebut. Tidak ada satpam yang profesional disana untuk menjaga keamanan. Tidak ada administratur bagian keuangan jebolan S1 jurusan akuntasi yang profesional untuk mencatat laba dan rugi. Tidak ada penjaga toko yang di outsource secara profesional untuk mengatur stocking barang di koperasi. Bahkan, tidak ada tukang listrik profesional yang merangkap bagian diesel yang sangat vital mengatur kelistrikan disana.

Tidak ada profesi disana kecuali satu; semua menjadi “pelajar” yang terlibat di dalam proses pendidikan. Tidak peduli apakah ia santri, guru ataupun administratur, semuanya berperan untuk menggerakkan roda kehidupan di Kampung Damai.

Profesional? Jelas tidak! Bagaimana mau dibilang profesional kalau kebanyakan mereka adalah santri yang mungkin saja baru berumur remaja. Tiap saat ada saja pelatihan-pelatihan bagi “pegawai” baru setiap bidang. Bagian koperasi dilatih untuk membuat catatan keuangan. Bagian fotografi harus dilatih bagaimana mengambil angle yang baik didalam memfoto. Bagian diesel diajari untuk mengganti oli diesel oleh seniornya yang telah selesai “menjabat” selama satu tahun sebelumnya. Dan itu dilakukan setiap tahun berulang-ulang.

Lalu, bagaimana kalau mereka salah dalam menghitung dan menyebabkan kerugian pondok jutaan rupiah? Bagaimana jika diesel yang ada tiba-tiba ngadat dan tidak mau berfungsi sehingga Pondok gelap gulita selama beberapa jam karena lupa diganti olinya? Atau bagaimana jika foto-foto sang Presiden RI yang berkunjung ke Gontor yang diambil oleh fotografer baru itu tidak fokus wajahnya? Ya itulah bagian dalam proses pendidikan. Tidak ada kata salah di dalam belajar. Yang tidak boleh adalah jatuh dilubang yang sama untuk kedua kalinya.

Bulis malam yang berfungsi sebagai penjaga keamanan hanyalah sekelompok anak santri yang kalau berhadapan dengan maling pasti mereka lari terbirit-birit. Santri bertugas menjaga kebersihan kamar dan lingkungannya sendiri, kalau perlu menguras kamar mandi dan WC mereka setiap hari jum’at, seperti yang masih berjalan hingga hari ini.

Apakah mereka dibayar sesuai standard profesi mereka? Boro boro! Yang ada malah di marahin oleh Kiai karena tidak becus menghitung.

Tapi, semua itu merupakan proses pendidikan integral yang diyakini Gontor akan bermanfaat untuk membentuk karakter santri itu sendiri sebagai kader. Mereka sendiri adalah kader itu sendiri dan keseluruhan proses itu diyakini dengan total dengan sepenuh keyakinan dan disampaikan secara efektif kepada stake holders sebagai sebuah proses pendidikan, termasuk orang tua mereka.

Jarang ada orang tua santri yang protes anaknya disuruh membersihkan kamar mandi ataupun WC karena mereka yakin akan Gontor dan pola pendidikan mereka. Mereka justru membayar agar putra-putrinya belajar membersihkan kamar mandi dan WC mereka!

Mereka yakin akan pendidikan mereka.

Pertanyaannya, mana yang lebih baik?

Tidak ada jawaban mutlak karena keduanya adalah pilihan yang memakai frame yang berbeda dengan keyakinan masing-masing yang berasal dari tujuan pendidikan lembaga itu sendiri.

Perbedaan ini mungkin bermula dari perbedaan cara pandang merumuskan pendidikan itu sendiri.

Dwi Warna memilih merumuskan pendidikan dengan definisi terbatas bahwa apa yang penting ditanamkan dalam pendidikan murid-murid mereka adalah apa yang menyangkut dengan kehidupan akademik di kelas dan seputaran ekstra kurikuler.

Dilain pihak, Gontor memandang pendidikan dengan batasan yang jauh lebih luas melampaui ruang-ruang kelas. Istilah mereka; apa yang dilihat, apa yang disentuh, apa yang dirasakan oleh santri adalah bagian dari pendidikan Gontor.

Orang tua dari murid Dwi Warna senang karena putra-putri mereka dijaga di lingkungan yang aman dikelola dengan manajemen profesional sehingga putra-putri mereka bisa fokus belajar untuk meningkatkan kemampuan akademis dan non-akademis mereka.

Orang tua murid dari santri Gontor pun berkeyakinan dengan apa yang di perlakukan kepada putra-putri mereka karena mereka yakin bahwa hal tersebut akan bermanfaat untuk masa depan mereka.

Tidak ada yang mutlak benar di keduanya. Yang ada hanyalah bahwa masing-masing cocok dengan tujuan pendidikan lembaga sesuai kebutuhan “customer”nya.

Satu yang harus dihindari adalah ketidak jelasan positioning karena terjebak diantara keduanya.

Dalam dunia manajemen, Porter-sang Guru Manajemen mengistilahkannya; stuck in the middle! Tidak jelas positioningnya!

Justru itulah masalah yang di khawatirkan dialami Darunnajah.

Darunnajah sedang berada di persimpangan jalan, dan harus memilih diantara keduanya agar tidak terjebak diantara dua pandangan tersebut.

Sayangnya, beberapa kebijakan yang dibuat mengindikasikan bahwa Darunnajah terjebak diantara keduanya.

Pada awalnya, Darunnajah dulu seingat saya pernah “tidak profesional” dan bahkan dengan jelas dikatakan bahwa Darunnajah adalah Pesantren di Ibukota dengan model pendidikan ala Gontor. Hal ini bisa dilihat dari dokumentasi di media massa tentang pernyataan pendiri, KH Mahrus Amien yang bahkan menyebut Darunnajah sebagai “Gontor versi Jakarta”.

Tetapi, Jakarta tidaklah sama dengan Ponorogo. Seiring berjalannya waktu, kepungan dunia Modern yang jauh lebih dinamis dari Ponorogo membentuk permasalahan tersendiri bagi Darunnajah. Pada kenyataannya, memang“Customer” dan lingkungan Darunnajah tidaklah sama dengan “customer” Gontor, baik dari segi ekonomi, cultural dan budaya.

Seiring dengan berjalannya waktu, banyak hal- terutama lokasi di perkotaan, kemudahan orangtua invtervensi dan segala eksesnya-yang memaksa Darunnajah untuk mencari bentuk mereka sendiri. Ijtihad mereka membawa mereka untuk bersikap lebih professional, satu sikap yang bukan bagian dari idealisme Gontor.

Tuntutan orang tua santri terutama sangat kuat karena kebanyakan mereka sendiri adalah kalangan profesional perkotaan. Menurut data PPMB lima tahun terakhir, lebih dari 70% santri berasal dari kalangan masyarakat profesional perkotaan yang maaf; tidak sepenuhnya faham dan akrab dengan idealisme Gontor yang “tidak profesional” tersebut. Karakter mereka bahkan lebih mirip dengan orang tua santri Dwi Warna, setidaknya secara budaya perkotaan dan level ekonomi.

Darunnajah pun mulai merasa perlu mendengar masukan tersebut dan mulai merespon tantangan-tantangan yang ada.

Ambil satu contoh yang gampang terlihat; masalah keamanan ataupun kebersihan. Pada awal perkembangannya, Darunnajah memandang bahwa bidang keamanan dan kebersihan adalah bagian dari pendidikan yang harus diserahkan kepada anak didik. Bulis malam (Ronda malam) digilirkan kepada anak santri. Membersihkan lingkungan menjadi tanggung jawab santri. Pengelolaan dan pengawasan kamar-kamar pun diserahkan kepada santri senior yang terpilih menjadi mudabbir.

Ternyata, untuk bersikap “tidak professional” tidak semudah di Gontor yang jauh dari jangkauan kebanyakan wali santri. Mudahnya lokasi Darunnajah dijangkau menjadi permasalah tersendiri bagi lembaga yang sedang mencari bentuk tersebut. Banyak orang tua santri yang tidak faham akan idealisme pendidikan menyeluruh yang diterapkan di Gontor dan Darunnajah awal. Kenapa masih saja ada barang yang hilang? Kenapa anak mereka disuruh membersihkan WC mereka? Kenapa wewenang menghukum diserahkan kepada senior, dan bukan ustadz yang lebih dewasa? Kenapa anak mereka tidak diurus secara professional?

Seiring berjalannya waktu dan tuntutan orang tua santri dan lingkungan, Darunnajah pun mulai mencoba mengarah untuk lebih profesional.

Untuk masalah keamanan di serahkan kepada satpam. Kebersihan lingkungan diserahkan kepada karyawan kebersihan. Pengawasan santri dan kehidupan mereka diserahkan kepada yang lebih berwenang; ustadz musyrif, yang pastinya jauh lebih dewasa dibandingkan oleh santri mudabbir yang dianggap tidak lagi becus diberi wewenang untuk menghukum. Tidak ada lagi cerita santri ikut terlibat nge-cor bangunan pondok. Semuanya diserahkan kepada orang lain. Kepada ahlinya.

Terlihat disini sepertinya Darunnajah akan menuju satu kutub; Profesional.

Satu yang Darunnajah tidak bisa lupakan adalah bahwa darah Gontor mengalir deras di urat nadi mereka. Ke “tidak profesional” an adalah pola yang menjadi pola pendidikan yang mereka anut sejak awal. Ada ketidaksesuaian dan ketidakyakinan akan idealisme dan tujuan pendidikan disini. Ada yang tidak tercapai.

Mereka sadar bahwa idealisme pendidikan profesional bukanlah idealisme pendidikan yang mereka yakini.

Darunnajah pun mulai merevisi kebijakannya meskipun masih terkesan malu-malu.

Satpam mulai di kritik keberadaannya. Bulis malam mulai diadakan kembali. Musyrif mulai dikurangi wewenangnya dan diserahkan kepada mudabbir dan OSDN. Santri pun diminta kembali untuk terlibat didalam membersihkan kamar mandi mereka.

Idealisme pendidikan mereka kembali kearah “tidak profesional”, kearah pendidikan dengan pandangan holistic; apa yang dilihat, apa yang disentuh dan apa yang dirasa oleh santri.

Pendidikan manusia seutuhnya yang tidak dibatasi oleh tembok kelas.