Sunday, December 21, 2008

Pesantren Development through the eyes of Greiner

Pernah dengar adagium dalam dunia pesantren yang menyatakan bahwa biasanya Kiai membawa mati pondoknya? Adagium ini mengacu banyaknya kasus Pondok Pesantren yang mati seiring dengan kematian Kiai pendiri.

Tulisan ini mencoba mengupas kenapa banyak Pesantren- terutama yang dikelola secara tradisional- gagal melewati masa-masa kritis di dalam perkembangannya melalui kacamata Management.

Phases of Growth model yang dikemukakan L.E.Greiner melalui tulisannya “Evolution and revolution as organizational growth”, (1972) mungkin bisa membantu menjelaskan bagaimana perkembangan sebuah organisasi dan lazim dipakai didalam menganalisa tipikal masalah yang dihadapi oleh bermacam organisasi, termasuk didalamnya Pondok Pesantren.

Model yang dikembangkan Greiner membagi perkembangan organisasi menadi beberapa tahapan -layaknya pertumbuhan seorang anak- dan mendeskripsikan tipikal permasalahan yang biasanya terjadi di tiap tahapan.

Dalam model seperti dibawah ini, ukuran perkembangan organisasi di kaitkan pada dua ukuran; size and age. Besar kecil organisasi dan lamanya beroperasi.





Tahap pertama

Tahap pertama adalah ketika ukuran organisasi masih kecil dan bahkan berada dalam tahap embrio. Pada tahap awal perkembangan organisasi ini, biasanya tidak banyak sumber daya (resources) yang terlibat. Modal finansial, manusia dan asset yang terlibat masih terbatas. Ukuran organisasi belum terlalu besar sehingga permasalahan yang ada masih belum terlalu komplek.

Dalam tahap awal ini, krisis yang biasanya terjadi berkaitan dengan kualitas kepemimpinan atau leadership. Kepemimpinan adalah konsep yang luas, tetapi ada perbedaan mendasar dari leader dan manager. Leaders doing the right thing while Managers doing things right.

Lalu, kualitas manajerial apa yang paling berperan dan dibutuhkan untuk melewati tahap ini?

Greiner berpendapat bahwa untuk bisa berkembang, kualitas yang paling dibutuhkan dalam tahap awal ini adalah kreatifitas. Konsep yang baik. Ide. Dalam dunia pesantren, konsep dan blueprint perjuangan melalui pendidikan Islam.

Dalam dunia bisnis, di tahapan inilah para truly entrepreneur and truly leader berperan. Ide bisnis bisa sangat berharga dan bisa dijual ke para investor, banking dan business angels. Business plan is the most crucial thing in this stage.

Bisa dibilang, inilah yang menjadi era favorit bagi para entrepreneur atau dalam dunia pesantren, Kiai. Kenapa?. Menurut penulis, inilah tahap yang juga lekat dengan tahap entrepreneurship. Tahap wirausaha yang membutuhkan kualitas kepemimpinan dan kewirausahaan yang berkaitan erat dengan kreatifitas dan ide

Dalam tahap ini, sang entreprenur atau sang Kiai dituntut memiliki kualitas kepemimpinan yang tinggi. Bekerja dengan sumber daya yang terbatas, menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat, mendidik organisasi untuk terus belajar dan selalu mencari jalan keluar yang kreatif dalam menyelesaikan tantangan yang ada hanyalah sebagian tugasnya.

Berat memang, tapi dilain pihak inilah saatnya sang entreprenur atau sang Kiai menikmati saat-saat mempunyai kendali penuh atas organisasi yang didirikannya. Skala organisasi yang masih kecil memungkinkan untuk dipegang oleh hanya segelintir orang dengan pola sentralistik. Begitupun dengan pola komunikasi dan pengambilan keputusan yang tersentralistik di Kiai.

Dalam kasus Pesantren Darunnajah, tahap-tahap ini berada pada awal rintisan tahun 70-an. Pesantren Darunnajah dirintis oleh seseorang yang memiliki ide dikepalanya, Kiai Haji Abdul Manaf. Blueprint perjuangan dan konsep pendidikan ada di memorinya. Pada perkembangannya, operasionalnya diserahkan kepada managing director sekaligus mantunya, Ust Mahrus muda. Kiai sebagai leader-lah yang mempunyai visi kemana organisasi akan menuju.

Pada awal-awal perkembangannya sekitar tahun 1974 dan setelahnya, tanah seluas 6 hektar pun mayoritas hanya terisi oleh pohon jinjing. Bangunan pun bertambah sedikit demi sedikit dan bukan simsalabim menjadi gedung nan megah seperti sekolah-sekolah elit nan mahal yang akhir-akhir ini banyak bermunculan. Modal pun hanya terdiri dari tanah kosong dan harta pribadi, termasuk cincin kawin atau mesin jahit sang istri.

(to be continued)

Sunday, November 30, 2008

Arrohatu fil Jannah

"Arrohatu fil jannah", waktu istirahat adanya di Surga, kira-kira begitulah artinya ungkapan yang kudengar dari salah satu kawanku, Fatori.
Terhenyak aku mendengarnya.
Simpel, namun dalam.
Penuh pergerakan.
Perjuangan.
Effektif.
Ntah dari mana dia mendengar ungkapan itu, perkiraan awalku, ia mungkin mendengarnya dari para Mujahid di Poso sana tempat ia sempat mengabdi, tapi setelah ku confirm, ternyata ungkapan itu berasal dari salah satu putra terbaik Gontor yang wafat tidak lama setelah beliau mengucapkan kata-kata tersebut, Ust Ali Zyarkowi. Barisan mujahid Gontor yang masyhur akan kecerdasan dan kegigihannya didalam mengabdi.

Kata-kata itu pula yang spontan terucap fajar tadi ketika aku berpaspasan dengan Kiai Mahrus saat berjalan menuju masjid.
"Cape ded?" tanyanya.
Mungkin ia tahu aku baru saja terlibat dua perhelatan besar, Silatnas Gontor di JCC dan Rangkaian 35 tahun Darunnajah yang lumayan bikin pusing karena keduanya mentargetkan kedatangan SBY.
"Arrohatu fil Jannah.." spontan aku menjawab.

Ntah apa yang kupikirkan saat itu, tapi mungkin karena sampai saat ini masih ingin terus berkarya di kehidupan ini, dan bukan beristirahat di Surga, itupun kalau masuk surga.

Friday, November 21, 2008

Progress Report Edukasia



Majalah Edukasia adalah sebuah bidang usaha milik Pesantren Darunnajah, yang artinya Ummat Islam secara keseluruhan merupakan stakeholder. Sebagai penanggung jawab Edukasia, kami merasa perlu melaporkan perjalanan bisnis majalah Parenting Keluarga Muslim yang telah mencapai edisi ke 3 (cover diatas) kepada masyarakat umum.

I.PROGRESS REPORT EDUKASIA

Distribusi

Selain didistribusikan untuk keluarga Darunnajah seperti wali Santri Darunnajah Group, Edukasia juga telah rutin dengan mudah didapatkan di toko-toko buku terkemuka seperti Gramedia, Gunung Agung, Gedung2 Perkantoran di Jakarta, hotel2, Bandara, beberapa Kampus2 Universitas, Jaringan Supermarket seperti Giant, Hero, Yogya, Superindo baik di Jakarta maupun diluar Jakarta (sementara paling jauh di Bandung, Purwakarta, Cilegon, Indramayu). Terimakasih kepada MM Distribusindo (Andi Junaidi) yang telah membantu semua ini terwujud.
Sedang diusahakan rak majalah Edukasia yang akan disebar ke berbagai Koperasi Sekolah, termasuk tentunya Darunnajah Group dan pondok binaan.

Pemasukan

Jumlah eksemplar Edisi Pertama (September) baru akan diketahui seluruhnya berbarengan dengan distribusi edisi ke-3. Tetapi, sebagai gambaran kasar, sekitar 20% dari majalah yang tersebar laku terjual. Ini mengejutkan kami mengingat Edukasia di luncurkan tanpa promosi yang menunjang.
Jumlah pelanggan belum banyak, baru mencapai sekitar 20 orang, dan ini disebabkan bukan tidak ada yang ingin berlangganan, tetapi lebih kepada ketidaksiapan tim sirkulasi.
Namun, disatu sisi, mulai edisi ke 2, beberapa slot Iklan di Edukasia telah terjual. Ini melebihi target kami yang hanya berharap pengiklan baru akan hadir setelah paling cepat edisi ke 6.
Tak hanya itu, yang lebih menambah keyakinan kami bahwa we're on the right track adalah penawaran dari salah satu tokoh nasional yang berniat menanam saham di Edukasia. Alhamdulillah.


Redaksi

Alhamdulillah pula dalam edisi November ini ada rubrik Dunia Pesantren yang akan mengangkat nilai-nilai dan sistem kependidikan di dunia pesantren pada umum-nya. Insya Allah rubrik ini didukung pula oleh Pekapontren (bpk Amin Haedari) dan sedang menuju kerjasama pembelian Edukasia oleh Depag yang diprakarsai oleh KH Mahrus Amin.
Rubrik tanya jawab juga semakin semarak ditambah kehadiran Ust Sofwan Manaf sebagai expert di bidang Pendidikan Pesantren.

Kabar gembira yang lain adalah bahwa salah satu alumni terbaik kita, Ustadz Arifin Ilham telah menyatakan secara langsung kepada kami pribadi di kediaman beliau di Depok, bahwa beliau bersedia mengasuh rubrik Do'a di Majalah ummat ini. Kiranya dukungan beliau sebagai Alumni Darunnajah merupakan berkah yang tak terhingga dan akan sangat berarti untuk melanjutkan perjuangan untuk pendidikan Islam melalui media cetak ini.
Terlebih, salah satu alumni Darunnajah yang berkecimpung di bidang fotografi (freelance Kantor berita Antara) siap membantu meningkatkan kualitas tampilan dari Majalah kita ini. Alhamdulillah. Kamipun mengundang keluarga besar untuk senantiasa menyuport dari segala segi.

II. PROGRAM JANGKA PENDEK

Maksimalisasi Iklan

Program yang akan dijalankan kedepan insya Allah yang menjadi prioritas adalah menggali potensi iklan yang belum banyak tergarap. Untuk itu kami mengundang keluarga besar Darunnajah, terutama yang mempunyai akses ke corporate2 yang siap untuk beriklan- untuk turut aktif memberi masukan informasi yang bermanfaat di bidang Advertising ini, sehingga Edukasia bisa berdiri mandiri secepatnya. Insya Allah tersedia kompensasi atas bantuan professional tersebut.

Musyawarah Kerja Edukasia

Musyawarah kerja akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Beberapa target yang ingin dicapai adalah: Struktur Organisasi, Standard Operational Procedure, Job Description, Program kerja masing-masing bagian. Seluruhnya diharapkan bisa membentuk system kerja yang lebih jelas.

Focus Group Discussion;

Disamping itu, insya Allah kami akan segera membuat semacam "Focus Group Discussion" yang akan menjadi ajang kritik dan masukan majalah Edukasia. Kami berharap saudara- kawan yang concern pada dunia jurnalistik dan pendidikan untuk bisa terlibat agar kami bisa senantiasa memperbaiki diri.


III. KETERBATASAN

Promosi Gerilya

Meskipun begitu, dengan keterbatasan anggaran, kami belum mampu banyak berpromosi secara besar2an. Untuk itu, sementara kami memilih untuk berpromosi dengan cara bergerilya karena kami percaya bahwa marketing lisan (dari mulut kemulut) juga merupakan cara yang effektif untuk berpromosi. Leaflet2 tentang Edukasia akan disebarkan diberbagai titik terutama yang berada dalam network MM Distribusindo.
Kami pun aktif mengajak keluarga besar Darunnajah (asatidz, alumni, walisantri serta seluruh kalangan umum, yang memiliki kantong2 komunitas yang sesuai dengan segment majalah ini (Orangtua yang memiliki anak Remaja) untuk turut serta mempromosikan majalah yang penting untuk pendidikan keluarga ini. Kami telah membuat format kerjasama (terlampir di attachment) yang insya Allah bisa menambah pemasukan finansial sekaligus beribadah membantu bidang usaha pesantren.

Thursday, November 20, 2008

Dunia Blog di Pesantren; sebuah catatan



Mungkin ini salah satu bukti internet menjadi pesaing kuat Televisi sebagai media paling berpengaruh. Jangkauan jejaring maya memang tidak kenal lelah mewarnai pola berkomunikasi.

Lihat saja, jauh di tengah kebun sawit di Pesantren Annakhil, Muko-muko, 5 jam perjalanan dari kota Bengkulu, satu jam dari jalan aspal terdekat, Ustadz Sifrul sibuk mengutak-atik laptopnya karena harus mengupdate laporan perkembangan pendidikan di lembaga yang baru memiliki 50 orang santri itu. Laporan itu harus dikemas didalam bentuk berita di webblog yang ia buat beberapa bulan yang lalu.

Keringat bercucuran bukan karena lelah mengajar, tetapi karena ia sedikit panik, sebentar lagi genset satu-satunya yang menjadi sumber pasokan listrik itu akan kehabisan solar, padahal, pihak pusat sudah wanti-wanti laporan harus segera diupload karena akan dilaporkan kepada pihak Yayasan.

Pondok Pesantren, lembaga pendidikan berbasis agama Islam yang tumbuh dan besar di Indonesia, mulanya dikenal sebagai institusi yang terkesan tertutup. Penulis sempat berdiskusi dengan beberapa personil dari Komite Perlindungan Anak yang intinya mengeluhkan kesulitannya mendapat akses masuk ke dunia pendidikan pesantren.

Banyak hal yang menyebabkan kenapa Pesantren terkesan menutup diri. Mulai dari gaya hidup ‘uzlah’ yang dipilih, pendidikan ala protective boarding school yang sengaja dibentuk, atau bahkan karena ada jarak antara dunia pesantren yang kental dengan independensi dan kewirausahaan dengan pihak yang berkuasa (pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan)

Namun, itu cerita lama, Pesantren kini mulai membuka dirinya.

Beberapa Ustadz yang saya kenal kini memiliki setidaknya email, sebagai media berkomunikasi. Di beberapa pesantren modern, terutama yang berada di perkotaan, seperti Darunnajah, malah menganjurkan para asatidznya, untuk memiliki ‘kapling’ di dunia maya. Setidaknya yang gratisan, seperti Blog.

Macam-macam respondnya. Ada yang kebingungan, kebanyakan mereka yang sudah senior dan agak gagap teknologi. Namun ada pula yang menyambut antusias. Apalagi setelah mereka tahu manfaatnya.

Selain dianggap bisa jadi ajang latihan menulis atau sharing, menurut para ustadz, blog bisa dijadikan bukti untuk meningkatkan point sertifikasi. Belum lagi kalau blog mereka rajin dikunjungi oleh pembaca, bisa menambah penghasilan mereka lewat fungsi advertisingnya.

Pihak pembuat kebijakan di Pesantren pun antusias mendorong program ini. Selain bisa menjadi ajang latihan meningkatkan kualitas tadi, Pesantren pun bisa lebih mudah di akses oleh banyak pihak, terutama mereka yang ingin lebih tahu dunia pesantren.

Maklum, macam-macam isinya blog ustadz itu. Ada yang jadi tempat memarkir soal-jawaban dan kisi-kisi pelajarannya. Ada pula yang jadi diary para ustadz yang tentunya menarik dibaca oleh para santrinya karena bisa melihat sisi kemanusiaan dari para ustadznya yang notabene terdapat gap di keseharian mereka.

Tak jarang beberapa ustadz yang kritis menggunakan blog sebagai ajang menyampaikan kritikan mereka.

Pengasuh pesantren pun harus mulai merubah sikap dan tradisi mereka. Tidak ada lagi budaya Kyai selalu benar dan bersih dari kritikan. Akuntabilitas pengelolaan pesantren pun menjadi komoditas yang harus siap di sharing dengan para stake holders. Hal ini terutama terjadi di beberapa Pesantren yang menerapkan manajemen modern dalam pengelolaannya, seperti Darunnajah contohnya.

Sepertinya, halangan terbesar dari budaya modern, termasuk keterbukaan dan kebebasan Informasi adalah budaya tradisional pesantren itu sendiri. Benturan budaya inilah yang menjadi tantangan dunia pesantren itu sendiri. Sampai mana batas-batas kebebasan menyampaikan informasi? Bagaimana menggabungkan budaya uwuh pakewuh yang kental di dunia pesantren dengan budaya blogging yang mengagungkan kebebasan berpendapat? Sejauh mana batas-batas privasi yang bisa di akses oleh publik?

Terlepas dari itu semua, internet dan blogging bisa menjadi alternatif yang menarik untuk bisa menjawab tantangan Pondok Pesantren.

Blogging bisa menjadi pilihan menarik untuk dalam hal keterbukaan sehingga tidak saja menghilangkan tuduhan miring dan kecurigaan yang tidak beralasan dari beberapa pihak, terutama terkait dengan isu terorisme.

Blogging pun bisa menjadi tools of education yang efektif, terutama dalam mengembangkan kualitas pendidik dan juga anak didik. Seperti yang kita tahu, internet dan tetek bengeknya adalah hal yang lazim diketahui oleh generasi kedepan untuk bisa bersaing. Dan blogging adalah salah satu tools yang paling menarik karena bisa melatih kemampuan menulis, berfikir kritis, berargumentasi dan bersikap terbuka.

Lebih jauh, blogging, jika diseriuskan, bisa menjadi lumbung penghasilan tambahan untuk para asatidz, guru, pendidik maupun santri dengan hanya bermodalkan sedikit sentuhan kreativitas. Dan tentunya, ini secara tidak langsung akan membantu dunia pendidikan secara keseluruhan, tidak terkecuali Pesantren dan meringankan beban pemerintah.

Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberi kesempatan yang sama dengan dunia pendidikan umum kepada dunia pesantren didalam meningkatkan kemampuan mengelola Teknologi Informasi sehingga keterbukaan menjadi hal yang lazim di lingkungan itu.

Kunjungan Tony Blair ke Darunnajah, Condoliza Rice, Perdana Menteri Holland, Pangeran Charles ke Krapyak dan masih banyak lagi yang menjadi bukti bahwa informasi tentang dunia pesantren masih jauh dari cukup sehingga mereka merasa perlu untuk menyaksikan langsung ke Indonesia.

Kirana Qurani 1st Milad




Masya Allah, it was exactly one year that I've heard her first cry. Now, she's a beautiful princess for me. Subhanallah. Semoga Kirana Qurani bisa seperti doa namanya, to become a light of Quran. Amien.

Investor Akhirat

Bayangkan anda memiliki 5 hektar tanah di bilangan Jakarta. Ya. LIMA hektar tanah DI Jakarta.

Kira-kira, apa yang anda lakukan dengannya?

Bangun Real estate? Kota mandiri? Mall? Kerjasama dengan developer? Jual saja dan beli rumah di kawasan elite Singapore? Atau bagi-bagi sajalah ke anak cucu jika anda seorang betawi.

Bisa dipastikan apapun pilihannya, pastinya yang paling menguntungkan untuk anda dan keberlangsungan hidup keluarga anda. Setuju?

Adakah kira-kira ‘orang bodoh’ yang menyerahkannya dengan cuma-cuma kepada pihak lain? Hmm. Di dunia materialistis ini, kecil sekali kemungkinannya.

Tapi saya beruntung pernah kenal dengan orang yang melakukannya.

Really? Menyerahkan 5 hektar tanah di Jakarta secara cuma-cuma?! He must be crazy. Konslet otaknya.!

Tidak, dia tidak gila dan melakukannya dengan penuh kesadaran di depan Notaris. Meski sang notaris dengan penuh kebingungan sempat bertanya akan kesehatan mentalnya sebelum si empunya tanah menandatangani ikrarnya untuk melepas hak kepemilikannya terhadap sebidang tanah seluas 5 hektar di Jakarta.

Dan ‘orang bodoh’ itu, K.H.Abdul Manaf Mukhayyar, wakif Pesantren Darunnajah, menjawab dengan tegas bahwa memang itulah keputusan yang sejak lama ia inginkan. Ia ingin mewakafkan tanah bangunan, beserta seluruh isinya yang ada di bilangan Ulujami Jakarta Selatan seluas 5 hektar, supaya anak cucunya kelak sepeninggalnya, tidak bertengkar memperebutkan harta benda yang ia tinggalkan. Harta benda yang ia berikan secara cuma-cuma itu akan ia bawa ke akhirat sebagai ‘investasi’.

What the…?? Apa sebenarnya yang dilakukan orang itu? Pola investasi macam apa yang ia terapkan? Penjelasan apa yang bisa menerangkan perbuatannya? Oh, Kiyosaki, please help me.

Dalam buku best sellernya, Rich Dad Poor Dad, Robert T Kiyosaki membagi ada 4 kuadrant manusia dalam hal menghasilkan penghasilan.

Kuadrant kiri adalah mereka yang bekerja untuk menghasilkan uang. Sedang mereka yang ada di kuadrant kanan adalah mereka yang telah berhasil membuat uang bekerja sendiri untuk mereka. Work smartly. Investor adalah puncak dari definisi Rich.

Tapi, Kiyosaki tidak pernah menyentuh golongan kelima, golongan yang saya menyebutnya dengan ‘Investor Akhirat’. Investor yang tidak hanya menghasilkan sesuatu yang bernilai materi di dunia, tapi juga immaterial reward someday. Pahala, jaza, istilah orang berjenggot.

Terbukti memang, tindakan melepas hak kepemilikan tadi, atau dalam istilah agama Islam, mewakafkan, menggerakkan sesuatu yang dalam istilah orang beradab ‘law of attraction’. Jika anda memberi, sebenarnya anda tidak kehilangan apapun. Justru tindakan memberi akan menarik hal-hal lain menuju diri anda. Istilah Ustadz Yusuf Manshur; kalo ente mo kaya, perbanyak Sodaqoh ya akhi.

Keikhlasannya melepas hak kepemilikannya menggugah dan menginspirasi banyak pihak. Ya. Inspirasi. Kualitas yang paling dibutuhkan oleh seorang pemimpin, tetapi ironisnya- menurut survey di USA, paling susah ditemukan. To inspire sehingga bisa menggerakkan akal fikiran dan tindakan.

Saya pribadi menyaksikan langsung bagaimana keikhlasan dan kesungguhan hati beliau dalam mewakafkan hartanya dan melepas hak kepemilikannya.

Contoh kecilnya, suatu hari, beliau complain ke bagian keuangan Pesantren Darunnajah karena mendapati tagihan listriknya telah dibayarkan oleh bagian keuangan Pondok. Jangan pernah sekali-kali membayarkan tagihan listrik pribadi saya dengan uang pondok, pintanya. Subhanallah. Beliau tidak rela tagihan listriknya yang tidak lebih dari ratusan ribu rupiah dibayarkan oleh, Pesantren yang telah dibangun dari harta bendanya.

Walhasil. Donasi, bantuan tenaga, fikiran, finansial atau yang lebih penting yaitu apa yang diharapkan oleh wakif- do’a- seakan mengalir deras tak berhenti mensupport perkembangan Pesantren Darunnajah. Subhanallah.

Ada tiga amalan yang tidak akan terputus ketika seseorang meninggal dunia; ilmu yang bermanfaat, sodaqoh yang mengalir dan anak sholeh yang senantiasa mendo’akan.

Ketiga amalan itulah yang ditargetkan oleh wakif tadi, KH.Abdul Manaf Mukhayyar sebagai investasi akhirat. Investasi yang tidak akan berhenti selama Darunnajah masih memberi manfaat dan inspirasi untuk masyarakat.

Semoga keihlasan beliau tetap menjadi inspirasi bagi generasi penerus dan investasi yang beliau tanam akan terus berbuah.

Selamat ulang tahun yang ke-35 tahun Darunnajah.

Al-fatihah lahuma.



KH.Abdul Manaf Mukhayyar dan Hj.Soraya

Sunday, November 16, 2008

Facebook Badge

Quite impressive of how u can link to the world.. Here's my facebook badge..

Hadiyanto Arief's Facebook profile

Friday, October 24, 2008

Give, not take

Terhenyak diriku mendengar kalimat Pri GS dalam program refleksi di Smart FM semalam.. Ciri-ciri orang besar adalah SIBUK mengurus kepentingan ORANG LAIN.. kalimat itu begitu menghujam di benakku. Adakah manusia-manusia berjiwa besar di zaman seperti ini? Kuharap.. Allahumma'jalnaa min 'ahlillkhoir.. Khoirunnasi llazii 'anfa'uhum linnaas..

Sunday, October 12, 2008

Edukasia Oktober


Edukasia edisi Oktober. Mengupas beberapa permasalahan orang tua jika sang prince n princess remajanya jatuh cinta.. Cintaa melulu.. Ada juga rubrik yang mengupas permasalahan remaja yang terlibat Gank semacam Geng Nero. Dilengkapi info tentang beasiswa favorit untuk remaja anda melanjutkan study di Eropa. Wawancara dgn Prof Dr Achmad Mubarok, psikolog muslim pertama di Dunia!

Bisa didapatkan ditoko-toko buku kesayangan anda. Gramedia, Gunung Agung, Hero dll.

sst.. How about the cover? Lilbit girly uh? for you all moms of fallin love teens.. Enjoy it..

Thursday, October 9, 2008

Singkong vs Wall Street

Hari-hari setelah Ied Fitri tahun ini menjadi sedikit menarik. Tak sabar kutunggu berita setiap harinya. Tidak hanya berita mudik macet rutin tapi rasa penasaran akan bagaimana Resesi Global yang terjadi akan berakhir menjadi sumbernya.




Menarik melihat bagaimana AS yang begitu digdaya justru ironically menjadi sumber dari Resesi Ekonomi Global. Negara biang ekonomi kapitalis dimana dewa-dewa bisnis berbasis riba beroperasi di Wall Street mengajak serta seluruh dunia, seperti efek domino, berjatuhan. Banyak Bank2 besar kollaps. Merka terjerat bisnis semu uang yang tumpuk menumpuk diatas bisnis perumahan. Bisnis nyata perumahan di Amerika telah tenggelam oleh tumpukan bisnis pembiayaannya yang berlapis-lapis hingga pilarnya roboh. Neoliberalisme berada dipinggir jurang. Kapitalisme sedang menghadapi dirinya sendiri.

Islam jelas-jelas melarang Riba. Now, let them understand why.

Riba itu pangkal kehancuran masyarakat. Segala hal yang tidak memiliki pijakan nyata, atau komoditas semu yang dispekulasikan, adalah riba. Riba bukan sekedar rente atau bunga atas pinjaman uang. Sejatinya, uang kertas adalah riba karena nilainya adalah nilai semua. Maka, selembar kertas yang sama tiba-tiba punya nilai berbeda ketika yang menuliskan angkanya berbeda. Rp 100 jelas berbeda dengan US$ 100.

Mencari keuntungan pada hal-hal semu memang menggiurkan. Dengan cepat itu dapat melambungkan kita keatas. Itu menjawab naluri manusia yang gemar segera dapat untung banyak tanpa harus bekerja keras. karakter itu yang menjadi kecenderungan kita. Kebanyakan pribumi pebisnis besar pun lebih banyak yang cuma sebagai makelar. Bahkan orang-orang terdekatku ada yang terlena dengan pesonanya.

Teringat kepada salah satu sobatku yang menjadi pemimpin perusahaan milik pamannya. Lebih dari 3 tahun berjalan aku ga pernah tahu apa core businessnya. Yang kutahu ia menjual dan membeli apa saja. Dari software sampe Kapal Tanker. Julukanku padanya; broker in the city. Sukseskah bisnisnya? terakhir aku dapat sms darinya, ia sedang merencanakan pelariannya yang kesekian kalinya keluar negeri. Sebabnya? utang perusahaannya numpuk dan dia dikejar-kejar pemegang saham dan supplier. Good luck bro. Mungkin negeri kapitalis tujuanmu cocok untuk gaya bisnis yang kau jalankan.

Sudah kuingatkan beberapa kali bahwa tidak ada keberhasilan instant. Kesuksesan haruslah berasal dari kerja keras. Bisnis yang berkah adalah bisnis ala Rasulullah. Bisnis berdasarkan Syari'ah Islam. Entrepreneurial and real stuff business is preferable. Ada asset dan produk atau servis nyata yang diperdagangkan. Bekerja keras diatas pijakan usaha yang nyata adalah mental bisnis yang harus dibangun generasi Indonesia untuk bisa maju. Bukan justru menjadi generasi yang gemar leha-leha, lalu berharap sukses dunia akhirat.

Salah satu juniorku di Fakultas Hukum UGM, si Firman "Tela Kress" adalah contoh yang bisa dilirik. Indonesia banget bisnisnya. Singkong. Nyata dan simple. Mungkin terdengar remeh dan tidak memiliki prestise dibandingkan Saham misalnya. Tapi dengan sedikit kreatifitas dan banyak kerja keras, bisnisnya telah merambah sebagian besar pulau ini dan mengantarkannya menjadi young entrepreneur. Good luck bro. Mental karakter seperti ente yang dibutuhkan negeri ini.

Saturday, October 4, 2008

Eid Mubarak

The blessed month, Ramadhan has just past. Our charging time has finished. Now it's time to continue our life for a year hoping to reach another Ramadhan to recharged our spirit. It said that the hearth of Shoimun (they who fast) and they who catch the lailatul Qodr, just like a clean paper. Forgiven. Crystal.

Allahumma give us a strenght to continue our life without your Ramadhan. Without accompanied by your blessed month.
Allahumma ballighna another Ramadhan..

Eid Mubarak for all my family, relatives and friends..

Monday, September 15, 2008

Finally, Edukasia has just launched!


Edukasia, Majalah Parenting Keluarga Muslim

"H
ari ini adalah hari yang bersejarah bagi Darunnajah dengan terbitnya Majalah Edukasia" begitu inti isi sambutan dari KH. Mahrus Amin, Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah pada acara launching Edukasia di kampus Pesantren Darunnajah, Jum'at, 12 September 2008. Beliau juga mengatakan bahwa hari launching yang dipilih pada hari Ramadhan adalah sesuatu yang istimewa mengingat bahwa banyak kejadian bersejarah yang terjadi di bulan istimewa untuk ummat Islam ini, seperti halnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya dengan meneriakkan takbir 3 kali dengan penuh semangat beliau dengan resmi menyatakan bahwa Majalah Edukasia telah diterbitkan.

Pemimpin Umum Edukasia, Ustadz Hadiyanto Arief menjelaskan dalam sambutannya bahwa majalah ini adalah perwujudan dari cita-cita Darunnajah untuk mempersembahkan pendidikan bagi masyarakat muslim Indonesia dalam skala yang lebih besar. Ustadz yang masih aktif di Darunnajah tersebut juga menjelaskan bahwa issue Parenting yang dipilih sebagai format majalah adalah karena Darunnajah mengerti bahwa keluarga merupakan "sekolah" yang paling essensial didalam perkembangan seorang anak.

Majalah ini mentargetkan para orang tua, baik wali santri maupun masyarakat umum di Indonesia yang memiliki putra-putri remaja (11-18 tahun) dan memberi informasi tentang pola asuh remaja. Majalah Edukasia bisa didapatkan setiap bulannya di toko-toko buku terkemuka seperti Gramedia, Gunung Agung dan sebagian lapak-lapak di kota besar.

Dalam acara launching, terdapat Talkshow parenting bertemakan "Saatnya mengaudit Pola Asuh Anda" yang menghadirkan pembicara nasional seperti Okky Asokawati, mantan model yang juga psikolog remaja, DR. Habib Chirzin, philosopher mantan anggota Komnas HAM dan Prof.Dr.Ahmad Mubarok MA yang merupakan Psikolog Muslim pertama di Dunia dan dihadiri oleh lebih dari 150-an peserta dan dilanjutkan dengan buka bersama.

Semoga bisa memberi pencerahan bagi dunia pendidikan keluarga muslim di Indonesia(ddy)

Sunday, August 31, 2008

DN Santripreneurs


Yup! I've made a simple proposal about the Santripreneurs, hopefully it can be started next semester in Darunnajah, if it's approved of course.. 

DN Santripreneurs

Santripreneurship; Santri + Entrepreneurship

It was very exciting moment for me. I thought it wasn't since US Embassy has a long collaboration with the pesantren for so many visits. But this time, I admit this one is different. He's  Harry G Harris, entrepreneur and the president of Health Care of California (www.healhtcal.com). 


We had very interesting conversation about entrepreneurship. He's friendly, smart, humble, success, funny and most important, He's entrepreneur! He's a damned successful business man with a quite renowned track for management which you can see at http://www.harrygharris.com/ 

He also kind of social entrepreneur by founding a Harry G Harris Foundation.The thing that more people should do. Anyway, at the end of the visit and mostly listening to my explanation about the pesantren, he impressed with how the pesantren survive and agree that pesantren Darunnajah and most of other pesantrens in Indonesia has a deep rooted entrepreneurial spirit. 

Santri menurut sejarahnya adalah sebuah gen kreatif dari Bangsa Indonesia. Bahkan, lembaga pesantren, yang proses kelahirannya biasanya dimulai from nothing bermodal sumber daya milik Kiai, adalah sebuah proses kewirausahaan itu sendiri. Lebih luas lagi, menurut data yang diambil dari Majalah Gatra edisi khusus 2005, kaum santri  merupakan tulang punggung penggerak ekonomi rakyat pada masa awal kemerdekaan. Contohnya bisa jelas terlihat dalam sejarah koperasi batik di kota Pekalongan,

Didalam kehidupan pesantren modern saat ini, Entrepreneurship menjadi salah satu kekuatan dari sistem pendidikannya. Hal tersebut terkait erat dengan pola asuh santri dalam beragam kegiatan extra kurikuler yang melatih beragam kecerdasan. Terlebih pendidi kan di pesantren juga mengedepankan sikap hidup sederhana dan mandiri, sikap yang utama sebagai entrepreneur. Salah satu doktrin yang selalu ditekankan oleh KH.Imam Zarkasyi, Kiai Gontor kepada santrinya adalah”Anda boleh menjadi pegawai, tetapi jangan pernah punya mental pegawai”.

Doktrin tersebut bisa dimengerti karena hidup ‘ala pegawai adalah hidup yang cenderung jumud, pasif dan sekedarnya, suatu gaya hidup yang bertolak belakang dengan Dunia kewirausahaan. Dunia kewirausahaan adalah dunia untuk mereka yang berani (kadang terpaksa) kreatif, imajinatif, penuh kedisiplinan, mandiri, tidak takut akan tantangan dan memerlukan kerja keras, Dunia yang juga dijalani oleh Rasulullah SAW ketika mudanya.

Namun, bicara Entrepreneurship bukan hanya melulu tentang bagaimana berdagang atau berbisnis. Lebih dari itu, entrepreneurship berkaitan erat dengan kreatifitas, kepemimpinan, kemandirian, kecerdasan sosial emosional dan sikap hidup produktif yang bisa dilatih kepada generasi muda sejak dini. 

Atas dasar tersebut, I'm thinking of idea to establish a kind of extracurricular activity, sebuah wadah pembinaan bagi Santri Darunnajah yang mempunyai minat dan bakat kewirausahaan: DN Santripreneurs.

DN Santripreneurs berasal dari gabungan kata Santri dan Entrepreneurs. Kata Santripreneurs Menggabungkan jiwa Santri dan jiwa Entrepreneurship.


So, what do you think?


p.s. I've heard this "Santripreneurship" term from my friend; Akbar, n I think I need to apply it to Pesantren as soon as possible since I believe this could become a next great thing 




Saturday, August 30, 2008

Edukasia oh Edukasia

lately has been very crucial moment for me as Entrepreneur to be.. I'm about to enter the point of no return, its because I'm about to distribute the magazine to the market .. ! Subhanallah! Exactly one year after returning home, I'm finally Launching a mass product! 

Imagining the public respond is intriguing. Will anyone buy my product? How's the market's respond? How's the advertising guy see my Magz? What need to be revised? oh God, whatever it is, I believe I did my best to produce Edukasia.. 

When I knew that I can give you a value from my product, Then I have a RESPONSIBILITY- not an opportunity- to deliver it to you..

www.edukasia.com


Sunday, July 13, 2008

Runtuhnya Loyalitas Kiai Pesantren

Sebuah kritik yang mungkin bisa kita ambil sebagai cermin..

oleh Nasrulloh Afandi

imageAkhir-akhir ini, para kiai pengasuh pondok pesantren
--selanjutnya disebut kiai pesantren--, tidak lagi menyatu dengan
masyarakat, "sengaja" jaga jarak, tidak mau tau terhadap aktivitas
keagamaan masyarakat sekitarnya(di luar pesantren), terlena dengan
institusi pesantren yang "dikuasainya" saja.

Resikonya, kiai pesantren bukan lagi dari dan untuk(tumpuan pokok)
masyarakat, terang-terangan "mencampakkan" loyalitas bermasyarakat.
Apalagi kiai pesantren yang "membelenggu diri" dengan struktural ormas
keagamaan/parpol tertentu(meskipun belum jadi pejabat) ''mendewakan"
organisasi/parpol yang hanya menguntungkan pribadi atau maksimal
golongannya saja.

Muslimin "pedesaan" sejak lama sangat merindukan "belaian" para kiai
pesantren, sang kiai perlu (kembali) ikhlas mengabdi, bukan saja
religiusitas "di lapangan ibadah", tetapi juga mesti jadi teladan
konteks interaksi sosial bermasyarakat dan beberapa aspek kehidupan
lainnya.

Minimalnya (para kiai) mesti "ikhlas" mendekat, sebagaimana ketika
para kiai(pesantren) mendekati rakyat(pedesaan) dalam moment- moment
politis, mensukseskan figur tertentu dengan berbagai kepentingan
sempitnya itu. Cukup adil!

Stop, Jaga Jarak!
Sangat banyak fenomena dan problem keaagamaan ganas melanda, yang
semestinya menjadi "surat undangan resmi" menggugah "nurani
religiusitas" para kiai pesantren untuk segera kembali "turun gunung",
merapat kepada masyarakat sekitarnya. Untuk estafet upaya
menyelamatkan masyarakat dari maraknya ajaran-ajaran, gerakan
pemikiran-pemikiran dan berbagai aliran aneh(yang sebatas mengaku
Islam) akhir-akhir ini.

(Padahal) bebarengan dengan itu, para kiai pesantren sedikitpun tidak
akan mengikhlaskan munculnya jutaan ''kiai instant" alias kiai
karbitan dengan keroposnya fondasi keilmuan dan demi kepentingan
sempitnya, lancang menggarap Masyarakat yang lapar ''menu instant"
ibadah itu, "membajak proyek" para kiai asli.

Apalagi maraknya "kiai instant" nyata-nyata hanya bermodal nampang di
berbagai media meski banyak yang mendirikan pesantren akhir-akhir ini,
selain merapuhkan "taring" para kiai di hadapan komunitas
berpendidikan agama, mengkomersilkan agama, juga jelas sangat menjauhi
"jantung kota lapangan ibadah" masyarakat, sekaligus dominan
berkampanye (agar "kiai" berebut nampang di media) muaranya "berebut"
menjauhkan diri dari Muslimin pedesaan.

Apakah para kiai lupa, bahwa loyalitas dengan masyarakat sekitar
tempat tinggalnya, adalah identitas pengabdian para kiai?

Ataukah sengaja melupakan, bahwa ''Embrio'' kiai (dan pesantren)
tumbuh berasal dari estafeta "ayunan" aktifitas masyarakat sekitarnya.
Orisinilitasnya, ia lahir dan dibesarkan sekaligus alamiah (tanpa
meminta, tanpa adanya unsur intervensi dan rekayasa) dijadikan figur
panutan oleh masyarakat sekitarnya!?

Bukankah kiai/pesantren pun akan bubar atau tidak akan terwujud sama
sekali bila tanpa kepercayaan (terutama) berawal dari "aspirasi
rakyat" sekitarnya. Masihkah para kiai pesantren punya nurani atas
"jasa besar" masyarakat di sekitar lingkungannya itu?

Data Keangkuhan
Syah-syah saja jika para kiai (pesantren) ingin "jaga jarak" dengan
masyarakat, selagi masih dalam batasan-batasan tertentu. Setidaknya
perspektif tasawwuf untuk menjaga muru'ah (kharisma) sang kiai di mata
publik. Para ahli etika kemasyarakatan mendefiniskan: tawadzu' (rendah
hati) adalah menempatkan manusia sesuai posisi/kafabilitasnya, tidak
boleh merendahkan orang terhormat, atau sebaliknya.

Skandal yang kronis menjangkit, sedikitnya adalah :
Pertama. masyarakat sangat susah hanya sekedar untuk ketemu kiai
--apalagi para kiai (pesantren) praktisi ormas keagamaan-- kian
angkuh, berlomba saling mengagungkan diri(mu'adzom nafsah), dari
sikapnya seolah-olah tegas menyatakan:"Biarlah para 'kiai kampung'
saja yang mengurusi konteks ibadah masyarakat pedesaan". (Dari
sikapnya) terkesan beranggapan; "Derajatnya menjadi turun", bila
berkomunikasi dengan Muslim komunitas pedesaan.

Semangat menghadiri forum pengajian di berbagai hotel berbintang
laksana para "tokoh nasional", selalu saja menjauhi pengajian di
masjid-masjid pedesaan. Masyarakat pun harus menunggu cukup lama di
ruang tamu (bila bertamu kepada) kiai, identiknya menghadap pejabat
tinggi. Bahkan sering sang kiai pesantren tidak berkenan menemui,
karena tamunya dianggap ''tidak berkelas''.

Kedua: Kerap "menindas" dan (karena) memandang sebelah mata kepada
para "kiai kampung". Semua kiai kampung dianggapnya "orang pinggiran"
dan wajib menundukkan kepala di hadapan kiai pesantren.

Mereka tidak sportif mengakui; sangat banyak "kiai kampung" kualitas
ilmiahnya lebih bagus dan sangat banyak "kiai kampung" jaringannya
melebihi kiai pesantren, punya hubungan baik dengan para tokoh Nasioal
(di luar pesantren) Padahal banyak kiai pesantren hanya mendapat
warisan (mendadak) menjadi pengasuh (pesantren besar sekalipun) meski
kualitas ilmiahnya sering tidak jelas. Dalam sportifitas keilmuan,
mestinya kiai pesantren "kelas ini" tidak patut menghujat para kiai
karbitan yang marak di media itu.

Ketiga: Tak ubahnya pembodohan terhadap masyarakat secara
terselubung."Sang kiai" kian egoisme berlebihan, memelihara "status
quo" berpandangan kurang berkemajuan, ia kerap sensitif bila ada
masyarakat diasumsikan kurang menghormatinya.

Di benaknya ia (memaksa) harus "disucikan", selalu ingin memperoleh
penghargaan lebih dari masyarakat, seperti dicium tangannya dan
lainnya. Sedangkan sikap "sang kiai" yang sudah sangat jauh dari
masyarakat, tidak pernah (dirinya) berintrospeksi.

Keempat; Lupa introspeksi diri, merasa paling "suci". Sesama komunitas
kiai pun kian jaga jarak, egonya ingin selalu di-sowani (dikunjungi)
antar kiai-pun sering saling menggunjing, kiai "A" menggunjing kiai
"B" dan sebaliknya, tanpa malu gunjingan dijadikan ''hidangan'' untuk
para tamunya tak terkecuali masyarakat awam pun turut "dihidangi".

Selain faktor "berebut pengaruh", paling marak karena antara satu
dengan lainnya mengklaim dirinya masing-masing punya nilai lebih.

Kelima: Banyak kiai pesantren, tidak malu, berteriak-teriak
menyalahkan orang lain, bila ada masyarakat atau tempat ibadah "diover
alih" bimbingan ibadahnya, oleh figur dari ormas keagamaan lain
golongannya, padahal sang kiai itulah yang lebih dulu menjauhi masyarakat.

Contoh keangkuhannya; hanya (kiai) se-kelas "lurah" bergaya (jaga
jarak dengan masyarakat) meniru kiai "sekelas" Camat, kiai se-kelas
camat "protokolernya" meniru kiai "sekelas" bupati, dan seterusnya.

Termasuk banyak "kiai" (bertanda petik) sesama kawan bekas satu
almamater pendidikan pesantren (institusi religius) pun kerap jaga
jarak, karena menganggap pribadinya sudah jadi "kiai". Sesama
orang-orang bekas satu almamaternya masih tinggi ukhuwahnya lulusan
lembaga pendidikan non-pesantren.

Keenam: Gengsinya kian menjadi-jadi. Diantarnya, dengan tidak
memperhatikan aktivitas (ibadah) masyarakat sekitarnya itu, belakangan
ini, marak para kiai pesantren jalan-jalan ke luar negeri tak ubahnya
pejabat negara, ngakunya "studi bunding''.

Kesannya seperti ''kiai mendunia'', padahal sering tidak jelas
tujuannya, rekreasi, (harus merogo isi kantong) pribadi, tak jarang
menggunakan uang kas "koperasi" pesantrennya.

Ketujuh. Banyak terjadi, para kiai pesantren pun jauh dari pembangunan
ekonomi, tidak peduli dengan perekonomian masyarakat.

Contohnya saja, terjadi di banyak pesantren, perekonomian masyarakat
sekitarnya pun kerap "dihambat", masyarakat dipaksa dilarang hanya
sekedar membuka warung berjualan kepada para santri, dimonopoli oleh
warung-warung kiai se-keluarga. Tampaknya lupa, bahwa para santri
pesantren adalah mayoritas dari berbagai lapisan masyarakat. Alih-alih
kiai membantu, masyarakat malah dikebiri.

Kedelapan. (Yang paling) menggelikan, di sebagian daerah, banyak pula
figur kiai pedesaan(di luar pesantren) atau hanya kiai pesantren
sangat kecil, beramai-ramai turut "berpartisipasi" jaga jarak dengan
warga sekitar, meniru "protokoler" para kiai pesantren. Selain
maraknya kiai bersekretaris pribadi (meski kadang) belum kelasnya,
bisa jadi para kiai pun "nafsunya" bergemuruh ingin menyewa pasukan
berseragam untuk pengawal "dinasnya" layaknya para pejabat tinggi,
--biar "disegani" rakyat-- namun "kasihannya" terbentur beberapa hal.

Berwibawahkah?
Mungkin asumsinya, dengan berbagai sikap jaga jarak itu "harga
jualnya" meningkat di mata masyarakat, benarkah?

Dengan semakin meningkatnya pendidikan masyarakat, bersikap "jaga
jarak", selain mencampakkan substansi akhlak, menyempitkan gerak
(peran)nya komunitas kiai di tengah kehidupan masyarakat, juga
hanyalah memudarkan kharisma ke-kiai-an itu sendiri, di mata komunitas
berpendidikan khususunya, masyarakat pada umumnya. Kecuali di mata
sedikit orang sangat polos atau yang terjebak fanatis (ta'ashub)
"mengkramatkan" nenek-moyang, keluarga sang kiai tersebut.

Alhasil, kredibilitas akhlak ke-kiai-an kian buram. Tanggung jawab
(kesalihan) sosial orang-orang yang menganggap bahkan sering
memproklamirkan dirinya sebagai kiai atau Ulama (pewaris para Nabi)
itu, sangat tidak jelas. Masih patutkah mereka memposisikan dirinya di
kelas itu?

Bukankah Nabi SAW, sebagai manusia paling sempurna pun ikhlas
memposisikan semua ummatnya dari hamba-sampai raja adalah sama.
Justeru diantara (modal) penyebab banyak orang simpati, karena Nabi
SAW rendah hati, sangat dekat dengan berbagai kelas manusia
''bawahannya''.

Para "kiai", apakah tidak malu atas rendah hati Nabi Muhammad SAW?

Nasrulloh Afandi
Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, sedang studi di Maroko.
gusgaul@...

Saturday, May 3, 2008

Smile=Sadaqoh


Dalam ajaran Islam, bersodaqohohlah walau hanya dengan tersenyum. Now, it's surprising sometime what can be found in society. Ternyata ada beberapa masyarakat yang baru belajar tersenyum! hehe2..

berikut ini ane copy paste salah satu grup yg ada di facebook. Lucunya, masyarakat mereka sendiri ternyata jenuh dengan orang budaya Briton yg ga pernah senyum n bersikap dingin dengan sesamanya, n mereka berharap masyarakat bisa berubah, walau hanya sehari. Sekarang ente tau kan kenape ane ga betah idup disono? ane rindu senyuman dan sapaan renyah simbok2 di Bantul!


Name :We're going to change Britain! WANTED: 2 Million People
Type :Common Interest - Beliefs & Causes

"We the members of this group will defy British culture by smiling, saying hello and potentially sharing a wave with people we do not know in order to change Britain."
In 2008 if you smile and say 'hello' to someone you don't know the chances are that they will think you're some kind of a crazy person after their bag or some larger part of their body. If you're lucky you might get their foot in your mouth.

We, the people who live in Britain, are fed up of silent commuter trains and journeys where people do not speak to each other. We're tired of those places where if you look at someone you are at increased risk of GBH. We're bored of a smile in the general direction of someone who thinks that they are attractive being misread/misled. Time enough we say for this Britain of darkness.

So let's reverse this reserved psychogeography of our nation(s)... for one day at least....

On (from) the 2nd of April 2008 shun unfriendly behavior, become an activist of change and...

Description :

1. Smile at everyone you make eye contact with (if they smile back, say 'Hi' or if they are a long way from you give them a wave.

2. Ask 'how do you do?' to people you walk past or sit next to. If they reply, go mad and ask them how their day is going.

...no matter who they are or what they look like. Let's go crazy and show an interest in our fellow Britons!


If 2 million Britons take part in this campaign 1 in 30 people should smile at you or say 'How do you do?'... this will change the geography of Britain as we know it... even if it is just for one day.... so please ask friends and strangers to join in.

Let's change the Geography of Britain!

A REMINDER MESSAGE CAN'T BE SENT OUT SO PUT IT IN YOUR DIARY

- This is an act of Guerrilla Geography -

Saturday, April 26, 2008

Work as a Team

I used to find myself doing my man's job. Especially when it's relating to some of businesses that I manage. Magazine, Video Production and such stuffs. Designing this and that. Calculating this and that and such. There are 10 people working for the business. Yet, sometime it's me doing all the work. What's the point? This is what I found from Brad Sugars' article.

Firstly, let’s get back to basics. Most people in business will understand how important systems are. Systems are usually responsible for having a business that runs smoothly (and profitably). With systems in place, it’s simply a matter of employing people to run those systems.

Jadi, seketika bisnis berhenti bergerak atau sepertinya roda organisasi berhenti berputar, take a look at the systems within. Lihat seluruh sistem dari yang paling dasar seperti bagaimana produser menjawab telepon yang masuk hingga bagaimana sebuah produk dihasilkan. Jika sistem yang ada tidak terdefinisi dan terkomunikasikan dengan baik, bagaimana bisa diharapkan sistem tersebut bisa dimengerti, apalagi dijalankan? Definisikan, lalu tuliskan dan breakdown it into check list niscaya bisa jauh lebih efisien.

Seketika sistem telah dibentuk dan diketahui, yang perlu dilakukan adalah get the right man in the right place to run those systems. Yet, the real challenge lies ahead; it's not just about a matter of having people who come in, run the system and get the job done. In this stage, what we're looking for is SYNERGY.

Synergy comes from having people who are committed to a ‘common goal’. If people are involved in setting the ‘common goal’, they are generally more likely to commit. If you , as the business owner are dictating to your team ‘this is the goal’, don’t expect much commitment. If your team has ownership, they are much more likely to achieve. Ownership is also very useful when designing and building your systems, let alone setting goals. Keep asking the team this question…’I’m looking for [certain outcome], how do you think we should go about achieving that?’ The successful business owner has team members that say ‘I think we should do like this’. An unsuccessful business owner has team members that say ‘I don’t know, you’re the boss’.

Finally, be aware of what you are teaching your team. By this I mean, if a baby cries and it's mother comes running. What will the baby lean to do after a while? Exactly, let out a cry and in rushes Mum. All I ask is for you to be very aware of what you are teaching your team. If you’re saying to yourself ‘no-one can do it like me’ and you jump in and do it, your team is learning from that.

Wednesday, April 23, 2008

Ageing Population

I met one of my Chevening friends yesterday in Plaza Semanggi. It was lunch time n I miss that Bebek Peking in one of Chinese muslim restaurant in Bristol. Rice Bowl was our choice then. It was my fifth time to go to Mall since the last six months.

Sitting there in one of the most centrally located Mall in Jakarta, we realized there was quite different atmosphere from most UK Shopping Centres. Something missing from our shopping centres. And it's an eldery people! ya! orang tua!

kakek2 ompong, nenek2 bungkuk berambut putih, kakek nenek pengendara mobil batere nan imut, mereka mandiri, ramah senyum dan biasanya tak segan mengajak ngobrol dimana ada kesempatan persis Ibu Nenek Gendut Soraya, nenek gw tercinta.


Gw inget banget soalnya setiap hari berangkat ke kampus jam 10 pagi, itu bis yang gw tumpangin pastinya penuh dengan manusia lanjut usia~pensioners. Tinggal menunjukkan kartu Pensioner mereka n simsalabim, mereka bebas kemana saja. Sekumpulan nenek2 biasanya menuju city centre buat berburu barang2 murah di Charity shops dan bazar2 murah.

Lalu, kemana mereka dalam kasus Indonesia? Yaaa pengajian laahhhh... Maulid boo.. Malu sama cucuuu..

No, I mean, it's far more serious than that. It's describing how horrible and unfriendly really our transportation system is. Ga kebayang kan nenek2 bungkuk naek Kopaja di Jakarta? Bisa2 tewas jantungan ngeliat copet beraksi di depan mata mereka, atau tumbang ketika mengejar ngejar Metro Mini yang zig-zag.

It's also describing the social structure of family in two different cultures. Cucu dan bahkan anak bukanlah milik mereka orang tua yang hidup dibudaya barat. Orang tua hanyalah media yang melahirkan mereka. Tidak ada kewajiban mengurus orang tua seperti konsep yang kita kenal dalam budaya barat dan Islam. Tidak ada kewajiban membalas kebaikan mereka. Tempat orangtua ketika mereka tidak berdaya adalah Panti Jompo. That's it. They're just like a baby. Fragile, spoil, burden, tak berdaya. Nyusahin!

Tetapi justru disitulah salah satu kelemahan terbesar masyarakat dengan budaya yang mereka anggap Modern. Budaya barat. Budaya sex bebas. Budaya individualis. Budaya yang sebagian dari kita menganggapnya budaya paling superior.

Seketika mereka sadar bahwa konsep menikah dan memiliki anak adalah sebuah beban dan tidak memperdulikan mereka sesaat mereka lulus SMA, kenapa repot susah2 membesarkan anak? who cares anyway? cuma bikin susah! mahal pula.. lebih baik duitnya dipakai buat seneng2. Plesiran, expedisi, touring.

Kebayang kan suatu hari nanti mereka akan bingung bahwa generasi mereka berkurang? dan itulah kenapa terjadi fenomena "ageing population". Populasi yang menua. Kekurangan generasi produktif karena setiap dari mereka tidak menginginkan anak terlalu banyak. SEBALIKNYA, orang2 imigran yang masuk, yang notabene berasal dari negara2 timur tengah dan Afrika, beragama Islam, berlomba2 membuat anak yang banyak sesuai anjuran agama mereka. Nah loh!

sudah tergambar skenario besar Tuhan kan? it's only a matter of time brother...

Tuesday, April 22, 2008

Trouble with Islam Today

Perasaan gamang yang hinggap dikepalaku begitu mengusikku sehari kemarin ketika aku mendapati kenyataan bahwa aku duduk sebagai seorang interpreter dari Irshad Manji, pengarang buku "the trouble with Islam Today" di acara launching buku terjemahannya "Beriman Tanpa Rasa Takut" di Perpustakaan Nasional.

Kenyataan minor pertama adalah bahwa aku bukanlah seorang interpreter yang baik. Aku mungkin telah hidup lebih dari 2 tahun di negeri biangnya bahasa ini dan lumayan fasih memahami dan berbicara dalam bahasa Inggris. Tapi, untuk menginterpretasi dan lalu menyampaikannya langsung didepan khalayak ramai it's totally different matter. Perlu kecerdasan Linguistik yang tinggi dan kusadari memang sejak duduk dibangku sekolah menengah kalau kecerdasan Linguistik bukanlah bakatku. Keberadaanku disana hanyalah kesediaanku membantu temanku sebagai penyelenggara. Ini kesempatan kedua aku menjadi interpreter di level nasional dan aku nyaris menghancurkan keduanya. Ditambah bidang yang dibahas adalah bidang yang sebenarnya asing dan tidak menarik bagiku, Gender equality. And the silly thing is, I haven't even read the speaker's book! Gosh! it was really hard day for me. Since then, my head keep telling me, that's enough for interpreting business. And anyway, I think I'm not supposed to be interpreter but it is Me (an Inspiring leader to be, Amieeeeeen...) the one whom supposed to be a speaker and be interpreted! (well, of course in the field I master in)

But more important thing is the content of the talkshow it self. One of the most important issues in the forum is Ijtihad. Surely it's very significant aspect of Islam. Islam was mastering highest position in knowledge lead by Ijtihad. Peradaban-peradaban Islam paling membanggakan ketika kaum muslim di masa kejayaannya menguasai lebih dari setengah daratan dunia dihasilkan dari proses ijtihad para pemikir dan intelek muslim. Hampir seluruh bidang karya tertinggi, science masterpieces, best Legal principles, dihasilkan oleh Ummat melalui proses Ijtihad. Ibnu Rusyd, Ibn Sina, Imam 4 Mahzab adalah beberapa contoh. Eropa dan dunia barat mendapat pencerahan pada era renaissance setelah menikmati hasil proses ijtihad pemikir2 muslim abad pertengahan melalui transormasi pengetahuan kepada mahasiswa2 mereka di universitas2 Islam di pesisir selatan Eropa.

Lalu pertanyaannya: Kemana hilangnya budaya ijtihad dari ummat Islam? kenapa justru dizaman informasi technology yang menghilangkan batas fisik dunia ini, banyak sebagian ummat Islam yang mundur selangkah kebelakang dengan meninggalkan budaya ijtihad? apa sebenarnya yang terjadi? semakin malaskah ummat?

Aku pribadi setuju bahwa pintu dan budaya ijtihad harus dikembalikan didalam budaya ummat Islam. Reinterpretasi dan dialektika permasalahan2 yang ada diummat in some extent harus kembali dibahas. Banyak permasalahan dunia era teknologi yang masih berada di wilayah abu-abu dan tidak terjamah hukum Islam. Tapi, siapa yang bertanggung jawab akan masalah ini? apakah setiap orang berhak berijtihad? ataukah ada syarat2 tertentu untuk bisa berijtihad? pertanyaan2 ini berujung pada satu pertanyaan yang berkaitan dengan Irshad Manji; siapa yang berhak untuk berijtihad?

Salah satu ketidak setujuan fikiranku dengan Irshad Manji adalah dengan pernyataan bahwa setiap orang berhak untuk berijtihad. Mungkin ia tidak mengatakannya secara explisit, tapi sebagai buktinya, ia sendiri merasa berhak berijtihad dan maka lahirlah buku yang ditulisnya sebagai hasil ijtihad.
Fikiran ini menurutku sangat berbahaya.
Bahkan jika ditinjau dari sisi manapun, akademikkah atau tidak, fikiran ini menurutku tidak logis.
Bayangkan jika pintu ijtihad dibuka untuk siapapun dan semua orang berlomba-lomba untuk berijtihad, bukankah bisa dibayangkan akan timbul kekacauan karena banyak hasil2 ijtihad yang tidak karuan, karena pada dasarnya manusia cenderung kepada hawa nafsunya. Batasan-batasan dan syarat-syarat haruslah terpenuhi sebelum seseorang bisa berijtihad. Kualifikasi akademik maupun kualitas dan integritas personal menjadi syarat mutlak tidak saja bagi mujtahid bahkan pada siapa saja. Hal tersebut terekam baik dalam kisah2 periwayatan hadits Rasul, dimana level validitas hadits bisa berkurang seiring dengan kurangnya integritas para perawi.

Bukankan berlaku juga dinegeri maju, bahwa setiap permasalahan haruslah dikembalikan pada ahlinya, apalagi jika itu menyangkut kemaslahatan banyak orang? bukankah budaya referensi untuk scholar2 mutlak menjadi ukuran di lingkungan universitas barat hingga saat ini? lalu kenapa seorang Irshad Manji yang tidak menguasai bahasa arab sama sekali (bahasa dimana AlQuran diturunkan) dan juga mungkin karena itu tidak mengerti sepenuhnya konteks lingkungan asbabun nuzul ayat2 alQuran berani berijtihad, seperti misalnya menganggap Homosexual diperbolehkan dalam Islam? bukankah ia sendiri salah satu yang mendukung bahwa Al-Quran harus di reinterpretasikan sesuai konteks zamannya? bukankah seharusnya seseorang harus bisa terlebih dahulu menginterpretasi sebelum meng re-interpretasi? (gosh! I really hate this interpretation business!)

Tapi, terlepas dari pertanyaan2 itu, aku sendiri merasa kecewa dengan kualitas pribadiku dan lingkunganku akan budaya critical thinking sebagai salah satu elemen ijtihad itu. Pendapatku justru mengatakan bahwa di critical thinking itulah sumber permasalah ummat Islam saat ini.

Pendidikan yang salah kaprah! dan semua ini berawal dari sistem pendidikan di negeri ini yang terlalu berorientasi pada "HASIL" dan bukan "PROSES"! Hasil UN jauh lebih penting daripada minat membaca. Nilai IPK jauh lebih keramat daripada keahlian berfikir kritis. Menghapal pelajaran jauh lebih mulia daripada berkreasi dengan penuh imajinasi.

padahal bahkan Einstein sendiri berkata bahwa " Imajinasi jauh lebih penting daripada Ilmu pengetahuan itu sendiri"

Perasaan itu terus terang mengusik hidup tenangku dan menimbulkan banyak pertanyaan.
Kesalahan siapa ini? Salahkah aku dan mereka yang tidak mempunyai pertanyaan2 kritis? bodohkah aku karena seingatku aku trauma berpendapat karena cemohan bapak guru di sekolah dasar dulu di ruang kelas di pelajaran matematika sesaat aku memberanikan mengangkat tangan dan ternyata memberi jawaban yang salah versi bapak guru?

Monday, April 14, 2008

Friday, April 11, 2008

Belbin's Team Role in Pesantren


Last night was interesting night of my big family and a good example of how traditional pesantren inner environment face typical regeneration problem. As been recognized from time to time, regeneration (Kaderisasi) is always be a major problem for any family type organization. Many examples of how this kind of problem could bring the pesantren down to the lowest level. Incapability, internal conflict, instant generation and hilangnya idealisme perjuangan were some major causes.

There was a serious discussion last night about next generation taking responsibility. Who should responsible which part and so on. Well, in my opinion, it is one of the leader's (in this case; kiai, pimpinan) hardest job descriptions to be implemented; to put the right person in the right place, including the hardest part to be organized, inner family. What management theory could offer to solve the problem?

First of all, of course, the objectivity and clear perspective of the decision maker; kiai. To clearly see and honestly value the real capability of even their own son and relatives are significant. It is part of "adil" quality of the leader. Even Allah answers Nabi Ibrahim's questions in Al-Baqoroh 124 by excluding the dzolimin from His promise.

Secondly, to put the right person in the right place. It is unrealistic to put all of the human resources in a single position. One has their own uniqueness quality. I might good in teaching but not my brother. He might brilliant in selling but not to concept a strategy. It is truly fine art to see people's capability yet it's not a rocket science.

How people unique position in terms of team working (pesantren is really team working really) could be explained by management terms. One of widely used theory of how team works is known as Belbin's Team Role.

Cited from Wikipedia, The Belbin Team Inventory, also called the Belbin Self-Perception Inventory or the Belbin Team Role Inventory, is a test used to gain insight into an individual's behavioural type. It was developed by Dr. Meredith Belbin after studying numerous teams at Henley Management College.

The Belbin Team Role Inventory assesses how an individual behaves in a team environment. It is therefore a behavioural tool, subject to change, and not a psychometric instrument. The test includes 360-degree feedback from observers as well as the individual's own assessment of their behaviour, and contrasts how they see their behaviour versus how their colleagues do. the Belbin Inventory scores people on how strongly they express traits from 9 different Team Roles.An individual may and often does exhibit strong tendencies towards multiple Roles. Belbin himself asserts that the Team Roles are not equivalent to personality types

The Roles

Plant

Plants are creative, unorthodox and a generator of ideas. If an innovative solution to a problem is needed, a Plant is a good person to ask. A good plant will be bright and free-thinking. The Plant bears a strong resemblance to the popular caricature of the absentminded professor-inventor, and often has a hard time communicating ideas to others.

Resource Investigator

The Resource Investigator gives a team a rush of enthusiasm at the start of the project by vigorously pursuing contacts and opportunities. He or she is focused outside the team, and has a finger firmly on the pulse of the outside world. Where a Plant creates new ideas, a Resource Investigator will quite happily steal them from other companies or people. A good Resource Investigator is a maker of possibilities and an excellent networker, but has a tendency to lose momentum towards the end of a project and to forget small details.

Coordinator

A Coordinator often becomes the default chairperson of a team, stepping back to see the big picture. Coordinators are confident, stable and mature and because they recognise abilities in others, they are very good at delegating tasks to the right person for the job. The Coordinator clarifies decisions, helping everyone else focus on their tasks. Coordinators are sometimes perceived to be manipulative, and will tend to delegate all work, leaving nothing but the delegating for them to do.

Shaper

The shaper is a task-focused leader who abounds in nervous energy, who has a high motivation to achieve and for whom winning is the name of the game. The shaper is committed to achieving ends and will ‘shape’ others into achieving the aims of the team.He or she will challenge, argue or disagree and will display aggression in the pursuit of goal achievement. Two or three shapers in a group, according to Belbin, can lead to conflict, aggravation and in-fighting.

Monitor Evaluator

Monitor Evaluators are fair and logical observers and judges of what is going on. Because they are good at detaching themselves from bias, they are often the ones to see all available options with the greatest clarity. They take everything into account, and by moving slowly and analytically, will almost always come to the right decision. However, they can become excessively cynical, damping enthusiasm for anything without logical grounds, and they have a hard time inspiring themselves or others to be passionate about their work.

Teamworker

A Teamworker is the oil that keeps the machine that is the team running. They are good listeners and diplomats, talented at smoothing over conflicts and helping parties understand each other without becoming confrontational. The beneficial effect of a Teamworker is often not noticed until they are absent, when the team begins to argue, and small but important things cease to happen. Because of an unwillingness to take sides, a Teamworker may not be able to take decisive action when it is needed.

Implementer

The Implementer takes what the other roles have suggested or asked, and turns their ideas into positive action. They are efficient and self-disciplined, and can always be relied on to deliver on time. They are motivated by their loyalty to the team or company, which means that they will often take on jobs everyone else avoids or dislikes. However, they may be seen as close-minded and inflexible since they will often have difficulty deviating from their own well-thought-out plans.

Completer Finisher

The Completer Finisher is a perfectionist and will often go the extra mile to make sure everything is "just right," and the things he or she delivers can be trusted to have been double-checked and then checked again. The Completer Finisher has a strong inward sense of the need for accuracy, rarely needing any encouragement from others because that individual's own high standards are what he or she tries to live up to. They may frustrate their teammates by worrying excessively about minor details and refusing to delegate tasks that they do not trust anyone else to perform.

Specialist

Specialists are passionate about learning in their own particular field. As a result, they will have the greatest depth of knowledge, and enjoy imparting it to others. They are constantly improving their wisdom. If there is anything they do not know the answer to, they will happily go and find it. Specialists bring a high level of concentration, ability, and skill in their discipline to the team, but can only contribute on that narrow front and will tend to be uninterested in anything which lies outside its narrow confines.


Those are the team roles and could be used as guidance of how Kiai and pimpinan could categorize people around. It is useful really to see people's from their capacity, tendency and capability. They might want their son to be Kiai after replacing him, but it is sometime not the case since there are different roles for different persons.

Friday, April 4, 2008

Crocodile Dundee

My favorite quote from this movie was when Sue, the girl in the movie explains about psycholog's (psikiator) vital function in such New York cities life. "They're the one for people to tell problems, to be open" she said something alike. Smiling, Dundee replied " Why? people here don't have a friend?".

It wakes me up from my time pace bloody life for living in such giant messed up city like Jakarta.

Watching this movie in TV last night reminded me of A character I knew. Pure, naive, wild, warm, loving and of course, free. It lead me to my best time in college, UGM Yogya spending six bloody beautiful years with different characters and mountains. Yup! mountains. Those mountains were my favourite and will always be. And when I speak about mountain I could not separate it from the best partner I had, my best friend I have, a Crocodile Dundee character, Suparjono.

"Telur itu telah pecah"

























Alhamdulillah, "telur itu telah pecah". Begitu ucap kawan sekaligus supervisorku, Luqman mengomentari fisik majalah Edukasia edisi dummy. Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, lanjutnya, kami boleh sedikit berbangga telah melahirkan wujud pertama "bayi jurnalistik" tersebut. Cheers, you deserve it, mate, sambil mengangkat gelas anggur berisi lemon tea.

Banyak memang yang harus dievaluasi dan secara pribadi menurutku edisi ini jauh dari sempurna, jauh dari ekspektasi awalku ketika merumuskan konsep bisnis majalah ini.
Tetapi, setidaknya kita bisa memakai edisi Dummy ini menjadi pijakan besar untuk melangkah, bahkan meloncat ke tempat tujuan.

Semoga bisa menjadi penerang jalan bagi masyarakat, do'anya. Amien.

Tak lupa kuucapkan terima kasih buat semua yang berperan di dalam mewujudkan Majalah Edukasia. Long live Edukasia!

Thursday, April 3, 2008

Interviewing your "gonna be manager"

Lately, it has been a very hectic month for me. To explore something new is intriguing, yet it's exhausting. Magazine publishing is something I never imagine to come into and this IS the real test case for my entrepreneurial knowledge application.

One of the hardest responsibilities of mine is to choose the Manager, in this case is a Chief Editor since it's me the GM. So, is there any ways out there how to choose such manager how to find someone you don't even know them (personally) yet whom you will depend your reputation on? plus you don't have a lot of budget in your pocket to hire a head hunter or even to persuade your competitors' resources.

One of the methods available is to interview them your self. It would be better if you've been knowing them somehow but how if you don't? Sometime interview becomes very formal and merely superficial. It's just like a first date. Everything looks so perfect and beautiful.

So, how to escape from such situation? According to Jack Welch, there are some key questions you have to ask them:
First, make sure yourself about they integration.

IF this requirement has been fulfilled, all you have to do is to ask what you want to know; vision, leadership, crisis management and whether it's original.

Vision is the most important things. The different between leader and manager is whether they have a vision or no. You have to see how they see their environment, comparing the data surround or applied consensus. You could ask them to reveal their best example in anticipating the market change situation.

After, you may come to their leadership. It's much better if you have their record in your hand. Managerial questions like how their recruitment process, problems faced or even to ask their successful "students' out there.

Next, a crisis management is something you don't want to miss. Every leader has their own crisis time and it's very useful to know how they handle the situations, the method, the brave and the experiences. Ask them whether they have been in position against everyone else? or ask them about they biggest integration "sin".

There were some questions Jack has provided and yet it's not that easy as seen. I have been in this situation and need to make a critical decision to bring "Edukasia" forward.

Monday, March 10, 2008

BRITISH EDUCATION EXPO



Just forwarding the information, perhaps some are interested.. note one of the speakers in the seminar is not graduated yet, :p










Saturday-Sunday, 15 - 16 March 2008 1200 - 1900
Asean Room, Sultan Hotel, Jakarta

Tuesday, 18 March 2008
1200 - 1900
Berlian Room, Holiday Inn Bandung

Participating university:
Aston University, University of St Andrews, University of Brighton, Aberdeen University, De Montfort Univeristy, Kent Univeristy, Brunel University, Newcastle University, Bournemouth University, University of Birmingham, Leeds University, University of Glasgow, University of Nottingham, Isle of Man Business School, Canterbury Christ Church University College, University of Surrey, Northumbria University, University of Manchester, Strathclyde University, University College for the Creative Arts, Royal Holloway University of London, Glasgow Caledonian University, St Andrew's Cambridge, Gloucestershire University and Bellerbys College.

For further information contact KING'S IBEC at (021)5745244, 5742112 or (022) 4215180

EDUCATIONUK EXHIBITION 2008


Friday, 4 April 2008
1300 - 1900
Ballroom, Imperial Aryaduta Hotel
Makassar

Sunday, 6 April 2008
1200 – 1800
Ballroom, Ritz Carlton Pacific Place
Jakarta

Tuesday, 8 April 2008
1300 – 1900
Ballroom, Novotel Hotel
Bandung

Seminars in Jakarta

1030 – 1130: Information Technology
Speaker: Kurniawati Azizah, MPhil in Computer Speech, Text and Internet Technology from University of Cambridge, Indonesia Chevening scholars and currently working at Switchlab Ltd as Senior System Analist.

1300 – 1400: Creative Industries
Speaker: Joshua Simanjuntak, MA in Product Design, Royal College of Arts, currently working as furniture designer.

1500-1600: Media and Communication
Speaker: Arief Suditomo, MA in Media & Communication from University of Westminster, Chevening scholars who is currently taken the post of Chief Editor at RCTI, one of Indonesia leading national TV station.

1700 - 1800: Business and Entrepreneurship
Speaker: Hadiyanto Arief, currently studying at Bristol University taking MSc in Entrepreneurship and has established several kinds of business in media and broadcasting (Assistant to Chairman of Darunnajah Islamic Broading School and Founder of DN Production House)

Seminars in Bandung

  • Study Skills
  • How to choose the right institution for your needs
  • How to make a good personal statement and research proposal

Participating institutions:
Bellerbys College, Bournemouth University, Bradford College, Cambridge Education Group, London Metropolitan University, Middlesex University, Newcastle College (University Centre), Northumbria University, University of Bedfordshire, University of Hertfordshire, University of Sunderland, University of the Arts London

Tuesday, February 12, 2008

Jakarta; A Sinking Giant?

"Artikel menyedihkan dari The Jakarta Post tentang tempat dimana kita menghabiskan hidup kita.. Jakarta, Terlalu berat kiranya beban yang kau sandang dipundak...

In Graham Greene's Our Man in Havana, the British secret service demotes
an agent by reassigning her to the dreaded posting of Jakarta. It is no
surprise: For much of the last century, Jakarta was saddled with a
reputation as a poverty-ridden hellhole. Andre Vltchek believes nothing
has changed.

Today, high-rises dot the skyline, hundreds of thousands of vehicles belch
fumes on congested arteries and super-malls have become cultural centers of
gravity in this fourth largest city in the world. In between these colossal
super-structures, humble kampongs house the majority of the city dwellers
who often have no access to basic sanitation, running water or waste
management.

While almost all major capitals in the region are investing heavily in
public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural
institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta
remains brutally and determinately "pro-market": profit-driven and openly
indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.

Most Jakartans have never left Indonesia, so they cannot compare their
capital with Kuala Lumpur or Singapore, with Hanoi or Bangkok. Comparative
statistics and reports hardly make it into the local media. Despite the fact
that the Indonesian capital is for many foreign visitors still a hell on
earth, the media describes Jakarta as "modern", "cosmopolitan", a "sprawling
metropolis".

Newcomers are often puzzled by Jakarta's lack of "public" amenities.
Bangkok, not exactly known as a "user-friendly city", still has several
beautiful parks.

Cash-strapped Port Moresby boasts wide promenades, playgrounds, long
stretches of beach and sea walks.

Singapore and Kuala Lumpur compete with each other in building wide
sidewalks, green areas as well as cultural establishments. Manila, another
city without a glowing reputation for its public amenities, succeeded in
constructing an impressive sea promenade dotted with countless cafes and
entertainment venues while preserving its World Heritage Site of Intramuros.


Hanoi repaved its wide sidewalks and turned a park around Huan-Kiem Lake
into an open-air sculpture museum.

But in Jakarta, there is a fee for everything. Many green spaces have been
converted to golf courses for the exclusive use of the rich. The
approximately one square kilometer of Monas seems to be the only real public
area in a city of more than 10 million. Despite being a maritime city,
Jakarta has been separated from the sea, with the only focal point being
Ancol, with a tiny, mostly decrepit walkway along the dirty beach dotted
with private businesses.

Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spend Rp 40,000 in
entrance fees, something unthinkable anywhere else in the world. The few
tiny public parks which survived privatization are in desperate condition
and mostly unsafe to use.

There are no sidewalks in the entire city, if one applies international
standards to the word "sidewalk". Almost anywhere in the world (with the
striking exception of some cities in the U.S. like Houston and Los Angeles)
the cities themselves belong to pedestrians. Cars are increasingly
discouraged from the centers. Wide sidewalks are understood to be the most
ecological, healthy and efficient forms of short-distance "public
transportation" in areas with high concentrations of people.

In Jakarta, there are hardly any benches for people to sit and relax, no
free drinking water fountains or public toilets. It is these small but
important "details" that are symbols of urban life anywhere else in the
world.

Most world cities, including those in the region, want to be visited and
remembered for their culture. Singapore is managing to change its
"shop-till-you-drop" image to that of the center of Southeast Asian arts.
Monumental Esplanade Theatre reshaped the skyline, offering first-rate
international concerts of classical music, opera, ballet, but also
performances of the leading artists from Southeast Asia. Many performances
are subsidized and are either free or cheap relative to the high incomes in
the city-state.

Kuala Lumpur spent US$100 million on its philharmonic concert hall located
right under the Petronas Towers, the tallest buildings in the world. This
impressive and prestigious concert hall hosts local orchestra companies as
well top international performers.

The city is presently spending further millions to refurbish its museums and
galleries, from the National Museum to National Art Gallery.

Hanoi is proud of its culture and arts, which are promoted as its major
attraction: Millions of visitors flock into the city to visit countless
galleries, stocked with canvases which can be easily described as some of
the best in Southeast Asia.

Its beautifully restored Opera House regularly offers Western and Asian
music treats. Bangkok's monumental temples and palaces coexist with
extremely cosmopolitan fare: International theater and film festivals,
countless performances, jazz clubs with local and foreign artists on the
bill, as well as authentic culinary delights from all corners of the world.
When it comes to music, live performances and nightlife, there is no city in
Southeast Asia as vibrant as Manila.

Now back to Jakarta. Those who have ever visited the city's "public
libraries" or National Archives building will know the difference. No
wonder: in Indonesia education, culture and arts are not considered to be
"profitable" (with the exception of pop music), and are therefore made
absolutely irrelevant. The country has the third lowest spending in the
world on education (according to The Economist, only1.2 percent of its GDP)
after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situation is now rapidly
improving with the new progressive government).

Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely no
important international exhibitions. They look like they fell on the city
from a different era and no wonder -- the Dutch built almost all of them.
Not only are their collections poorly kept, but they lack elements of
modernity: There are no elegant cafes, museum shops, bookstores and even
public archives. It appears those running them are without vision and
creativity; even if they did have inspired ideas, there would be no funding
to carry them out.

It seems that Jakarta has no city planners, only private developers, with no
respect for the majority of its inhabitants who are poor (the great
majority, no matter what the understated and manipulated government
statistics say). The city abandoned itself to the private sector, which now
controls almost everything, from residential housing to what were once
public areas.

While Singapore decades ago and Kuala Lumpur recently managed to fully
eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from their urban areas,
Jakarta is unable or unwilling to offer its citizens subsidized, affordable
housing equipped with running water, electricity, a sewage system,
wastewater treatment facilities, playgrounds, parks, sidewalks and a mass
public transportation system.

Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitants counts on
one metro line (Putra Line), one monorail, several efficient Star LRT lines,
suburban train links and high-speed rail system connecting the city with its
new capital Putrajaya. The "Rapid" system counts on hundreds of modern,
clean and air-conditioned buses. Transit is subsidized; a bus ticket on
"Rapid" costs only 2 RM (about Rp 5,000) for unlimited day use on the same
line. Heavily discounted daily and monthly passes are also available.

Bangkok contracted German firm Siemens to build two long "Sky Train" lines
and one metro line. It is also utilizing its river and channels as both
public transportation and as a tourist attraction. Despite this enormous
progress, the Bangkok city administration claims that it is building
additional 80 kilometers of tracks for these systems in order to convince
citizens to leave their cars at home and use public transportation.

Polluting pre-historic buses are being banned from Hanoi, Singapore, Kuala
Lumpur and gradually from Bangkok. Jakarta, thanks to corruption and
phlegmatic officials, is in its own league even in this field.

Mercer Human Resource Consulting, in its reports covering quality of life,
places Jakarta repeatedly on the level of African and poor South Asian
cities; below Nairobi and Medellin.

Considering that it is in the league of some of the poorest capitals of the
world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer Human Resource
Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th most expensive city in
the world for expatriate employees, well above Berlin (72nd), Melbourne (74
th) and Washington D.C. (83rd). And if it is expensive for expatriates, how
is it for local people with GDP per capita below US$1,000?

Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appalling air
quality just as they have gotten used to the sight of children begging, even
selling themselves at the major intersections, to entire communities living
under elevated highways and in slums on the shores of canals turned into
toxic waste dumps, the hours-long commutes, floods and rats.

But if there is to be any hope, the truth has to be eventually told, the
sooner the better. Only correct and brutal diagnosis can lead to treatment
and cure. Painful as the truth can be, it is always better than
self-deceptions and lies.

Jakarta has fallen decades behind capitals in the neighboring countries: in
esthetics, housing, urban planning, standard of living, quality of life,
health, education, culture, transportation, food quality and hygiene. It
has to swallow its pride and learn: from Kuala Lumpur and Singapore, from
Brisbane and even in some instances from its poor neighbors like Port
Moresby, Manila and Hanoi.

Comparative statistics have to be transparent and widely available. Citizens
have to learn how to ask questions again, and how to demand answers and
accountability. Only if they understand to what depths their city has sunk
can there be any hope of change.

"We have to watch out," said a concerned Malaysian filmmaker during New
Year's Eve celebrations in Kuala Lumpur. "Malaysia suddenly has too many
problems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30 years
like Jakarta!"

Could this statement be reversed? Can Jakarta find the strength and
solidarity to mobilize and in time catch up with Kuala Lumpur? Can decency
overcome greed? Can corruption be eradicated and replaced by creativity? Can
private villas shrink in size and green spaces, public housing, playgrounds,
libraries, schools and hospitals expand?

An outsider like me can observe, tell the story and ask questions. Only the
people of Jakarta can offer the answers and solutions.

The writer is an American novelist, filmmaker and journalist, co-founder of
Mainstay Press (www.mainstaypress.org) and editorial director of Asiana
Press Agency (www.asiana-press-agency.com)