Thursday, November 20, 2008

Dunia Blog di Pesantren; sebuah catatan



Mungkin ini salah satu bukti internet menjadi pesaing kuat Televisi sebagai media paling berpengaruh. Jangkauan jejaring maya memang tidak kenal lelah mewarnai pola berkomunikasi.

Lihat saja, jauh di tengah kebun sawit di Pesantren Annakhil, Muko-muko, 5 jam perjalanan dari kota Bengkulu, satu jam dari jalan aspal terdekat, Ustadz Sifrul sibuk mengutak-atik laptopnya karena harus mengupdate laporan perkembangan pendidikan di lembaga yang baru memiliki 50 orang santri itu. Laporan itu harus dikemas didalam bentuk berita di webblog yang ia buat beberapa bulan yang lalu.

Keringat bercucuran bukan karena lelah mengajar, tetapi karena ia sedikit panik, sebentar lagi genset satu-satunya yang menjadi sumber pasokan listrik itu akan kehabisan solar, padahal, pihak pusat sudah wanti-wanti laporan harus segera diupload karena akan dilaporkan kepada pihak Yayasan.

Pondok Pesantren, lembaga pendidikan berbasis agama Islam yang tumbuh dan besar di Indonesia, mulanya dikenal sebagai institusi yang terkesan tertutup. Penulis sempat berdiskusi dengan beberapa personil dari Komite Perlindungan Anak yang intinya mengeluhkan kesulitannya mendapat akses masuk ke dunia pendidikan pesantren.

Banyak hal yang menyebabkan kenapa Pesantren terkesan menutup diri. Mulai dari gaya hidup ‘uzlah’ yang dipilih, pendidikan ala protective boarding school yang sengaja dibentuk, atau bahkan karena ada jarak antara dunia pesantren yang kental dengan independensi dan kewirausahaan dengan pihak yang berkuasa (pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan)

Namun, itu cerita lama, Pesantren kini mulai membuka dirinya.

Beberapa Ustadz yang saya kenal kini memiliki setidaknya email, sebagai media berkomunikasi. Di beberapa pesantren modern, terutama yang berada di perkotaan, seperti Darunnajah, malah menganjurkan para asatidznya, untuk memiliki ‘kapling’ di dunia maya. Setidaknya yang gratisan, seperti Blog.

Macam-macam respondnya. Ada yang kebingungan, kebanyakan mereka yang sudah senior dan agak gagap teknologi. Namun ada pula yang menyambut antusias. Apalagi setelah mereka tahu manfaatnya.

Selain dianggap bisa jadi ajang latihan menulis atau sharing, menurut para ustadz, blog bisa dijadikan bukti untuk meningkatkan point sertifikasi. Belum lagi kalau blog mereka rajin dikunjungi oleh pembaca, bisa menambah penghasilan mereka lewat fungsi advertisingnya.

Pihak pembuat kebijakan di Pesantren pun antusias mendorong program ini. Selain bisa menjadi ajang latihan meningkatkan kualitas tadi, Pesantren pun bisa lebih mudah di akses oleh banyak pihak, terutama mereka yang ingin lebih tahu dunia pesantren.

Maklum, macam-macam isinya blog ustadz itu. Ada yang jadi tempat memarkir soal-jawaban dan kisi-kisi pelajarannya. Ada pula yang jadi diary para ustadz yang tentunya menarik dibaca oleh para santrinya karena bisa melihat sisi kemanusiaan dari para ustadznya yang notabene terdapat gap di keseharian mereka.

Tak jarang beberapa ustadz yang kritis menggunakan blog sebagai ajang menyampaikan kritikan mereka.

Pengasuh pesantren pun harus mulai merubah sikap dan tradisi mereka. Tidak ada lagi budaya Kyai selalu benar dan bersih dari kritikan. Akuntabilitas pengelolaan pesantren pun menjadi komoditas yang harus siap di sharing dengan para stake holders. Hal ini terutama terjadi di beberapa Pesantren yang menerapkan manajemen modern dalam pengelolaannya, seperti Darunnajah contohnya.

Sepertinya, halangan terbesar dari budaya modern, termasuk keterbukaan dan kebebasan Informasi adalah budaya tradisional pesantren itu sendiri. Benturan budaya inilah yang menjadi tantangan dunia pesantren itu sendiri. Sampai mana batas-batas kebebasan menyampaikan informasi? Bagaimana menggabungkan budaya uwuh pakewuh yang kental di dunia pesantren dengan budaya blogging yang mengagungkan kebebasan berpendapat? Sejauh mana batas-batas privasi yang bisa di akses oleh publik?

Terlepas dari itu semua, internet dan blogging bisa menjadi alternatif yang menarik untuk bisa menjawab tantangan Pondok Pesantren.

Blogging bisa menjadi pilihan menarik untuk dalam hal keterbukaan sehingga tidak saja menghilangkan tuduhan miring dan kecurigaan yang tidak beralasan dari beberapa pihak, terutama terkait dengan isu terorisme.

Blogging pun bisa menjadi tools of education yang efektif, terutama dalam mengembangkan kualitas pendidik dan juga anak didik. Seperti yang kita tahu, internet dan tetek bengeknya adalah hal yang lazim diketahui oleh generasi kedepan untuk bisa bersaing. Dan blogging adalah salah satu tools yang paling menarik karena bisa melatih kemampuan menulis, berfikir kritis, berargumentasi dan bersikap terbuka.

Lebih jauh, blogging, jika diseriuskan, bisa menjadi lumbung penghasilan tambahan untuk para asatidz, guru, pendidik maupun santri dengan hanya bermodalkan sedikit sentuhan kreativitas. Dan tentunya, ini secara tidak langsung akan membantu dunia pendidikan secara keseluruhan, tidak terkecuali Pesantren dan meringankan beban pemerintah.

Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberi kesempatan yang sama dengan dunia pendidikan umum kepada dunia pesantren didalam meningkatkan kemampuan mengelola Teknologi Informasi sehingga keterbukaan menjadi hal yang lazim di lingkungan itu.

Kunjungan Tony Blair ke Darunnajah, Condoliza Rice, Perdana Menteri Holland, Pangeran Charles ke Krapyak dan masih banyak lagi yang menjadi bukti bahwa informasi tentang dunia pesantren masih jauh dari cukup sehingga mereka merasa perlu untuk menyaksikan langsung ke Indonesia.

No comments: