Monday, March 8, 2010

Pemimpin: Tak Membawa Apa-apa dan Bicara Makna

Lagak seorang pemimpin itu tidak membawa apa-apa. Dengan kata lain bahwa ajudan, staf, atau cantrik-cantriknya siap menjinjing keperluan. Itu data permulaan. Kepemimpinan apa pun, di mana pun, siapa pun, dan hingga kapan pun. Hampir sama beda-beda tipis saja.

Dalam dunia militer, misalnya atau sejenisnya --komandan-- ialah figur pimpinan. Di level dan strata mana saja. Demikian dia dipanggil oleh bawahan atau anak buahnya. Tangan komandan tak memegang apa-apa. Kecuali tongkat dalam genggaman. Simbol kedudukan juga kekuasaan (komando). Pemimpin itu dilingkupi banyak kewenangan.

Kewenangan adalah hak untuk berbuat dengan konsekuensi memikul tanggung-jawab. Jangan pimpinan berbuat tetapi anak buah menanggung akibat. Atau ia menjawab sekedar cari selamat (safety player) menghindari sebuah pertanggungan. Kepemimpinan itu tidaklah demikian.

Di dunia non militer pun dijumpai hal yang sama. Ia juga tidak membawa apa-apa. Kecuali sedikit di genggaman. Tak mengejar ujub, pamrih, bukan pula meraih riya.

Sosok pemimpin di mana pun (wajib) terjaga atas fasik - bisulnya dunia. Menjauh diri dari zinah, mencuri, mengadu nasib, syirik, mabuk, sombong, durhaka, menipu, tidak ikhlas, miskin, membunuh sesama iman, memakan harta (anak yatim) bukan haknya, serta menghindari fitnah yakni hasut, dengki, dan sakit hati.

Zinah itu artinya salah tempat. Analoginya dalam kepemimpinan bermakna: tidak proporsional. Seorang pemimpin tak boleh bertindak (zinah) sesuatu di luar porsinya - bukan wewenangnya. Istilahnya abuse of power atau kesewenang-wenangan. Bisa merugikan orang. Atau ia mengerjakan syirik menghamba selain-Nya. Seperti memuja harta, takhta, dan wanita.

Pemimpin itu tidak boleh miskin. Agar terhindar fitnah. Ia harus kaya. Sugih bondo jembar ilmu. Terutama jembar (luas) hati dan wawasannya. Supaya mampu berlaku adil bagi semua sesuai kebutuhan. Jangan seperti Pak Ogah di simpang jalan. Kesempatan diberikan kepada orang cuma karena imbalan. Tidak perduli antrian sudah panjang.

Mutlak yang tidak boleh bagi pemimpin ialah miskin iman. Tatkala jatuh miskin terhadap iman maka inilah titik awal. Ia dapat berubah sombong lagi ingkar. Adigang adigung adiguno. Lalu mengambil-alih wewenang Tuhan. Sesuka-hati membunuh sesama iman (korp).

Pasrahnya pimpinan berefek pada ikhlas pemikiran. Tulus lelaku dalam keseharian. Menghindari angan-angan (mabuk), karena itu perilaku setan. Bertindak sesuai data. Tidak mengada-ada. Punya visi dan prediksi jauh ke depan tetapi bukan bersifat untung-untungan. Sebab, untung-untungan identik berjudi. Mengundi nasib dengan busur di sebuah permainan.

Pemimpin itu cermat jika meramal keadaan. Cemerlang pada pemikiran. Juga tahan terhadap godaan. Menyimpan bara juang tidak pernah padam. Analisanya ibarat sembilu. Tajam sesuai strata yang diemban. Biasanya ia punya kemampuan di luar (domain) kelaziman.

Hal tabu bagi pemimpin yakni mengambil harta bukan haknya. Oleh karena jika termakan anak istri itu laksana menelan bara api - niscaya tumbuh tanduk di atas kepala putra-putri. Siapa hendak diseruduk maka orang tuanya kali pertama.

Sikap hormatnya tak putus-putus terhadap hikmah sebab itu simpul rajutan antara doeloe, kini, dan ke depan. Kalau suatu hari ia bergelimang harta titipan, dilakoni ae (dijalankan saja -red). Itu sekedar dampak hukum alam. Tak usah busung dada. Apalagi sampai lupa daratan.

Pemimpin itu tak membawa apa-apa. Akan tetapi konsekuensi dari kepemimpinan harus membawa "apa-apa" (bekal). Sedangkan makna 'sedikit pada genggaman', itulah yang disebut orang sebagai amanah, ketulusan, serta kepasrahan. Semua itu berasal dari Dia dan kembali kepada-Nya, yaitu Rabb yang Maha Abadi.

Pemimpin Sejati Bicara Makna
Ibarat burung --sosok pemimpin-- siapa pun orangnya, berkicau (bicara) adalah kepastian. Baik melalui lisan maupun tulisan. Begitulah ia bekerja. Beda dengan anak buah. Pemimpin apa saja, kapan saja, di tingkatan dan lini mana saja. Entah saat briefing staf dan anggota, diskusi, atau bargaining sesuatu. Lebih-lebih tatkala mengambil keputusan bagi organisasi dan kelompok. Atau ketika ia berpidato di depan khalayak. Berbicara bagi kepemimpinan adalah keniscayaan.

Bicara pemimpin bukan mengurai maksud. Atau soal arti semata. Tetapi, omongan sarat makna. Bukan berarti ia tidak suka bercanda. Pepatah Jawa "ngono yo ngono ning ojo ngono". Tidak usah banyak bicara. Apalagi memberi statemen terhadap hal di luar kewenangan, bukan level, atau jauh dari koridor tugasnya. Percuma. Tidak berguna.

Ketika seorang pemimpin tidak menjawab tentang sesuatu bukan berarti ia tidak paham jawaban. Atau tidak mengerti persoalan. Banyak alasan mengapa ia membisu. Oleh sebab tidak semua permasalahan dijawab. Tidak semua adegan diberi ulasan. Diamnya pemimpin ialah pilihan sikap yang ditampilkan.

Seperti cericit burung. Sesuatu yang dikicaukan merdu didengar, lembut dirasakan, sejuk laksana angin pegunungan. Nyanyian pemimpin membuat tentram berbagai kalangan. Menimbulkan rasa ayem semua lapisan. Itulah gerak-laku ikhlas menyatu. Antara lisan dan perbuatan (komitmen).

Satu hal yang mutlak dihindari oleh pemimpin adalah sikap "pagi kedelai sore tempe". Tidak boleh mencla-mencle. Satu irama. Bukan beragam nada. Namun, bila ada bisa ke mana-mana, ap aboleh buat - silahkan saja. Itu memang sudah warna dunia. Setiap jiwa membawa ukuran berbeda-beda.

Suatu ketika bila amarah tiba. Lihatlah gelombang batu karang, dengarlah pekik gelegar sang halilintar, rasakan dahsyatnya angin puting beliung berputar-putar. Menggetarkan jiwa-jiwa yang terluka. Mengerikan. Itu hanya gambaran.

Seperti sakti rajawali. Ia terbang melintas di ketinggian awan. Tiba-tiba menukik dengan kuku mencengkram. Lalu keras memekik di tengah kegamangan jiwa: haq .. haq .. haq! Mengejutkan! Marah pun ternyata tak sekedar menghambur bara. Namun, menggali lalu mengurai kusut benang keraguan. Meraih yang haq (benar). Bukannya mau menang sendiri. Tidak cuma benarnya sendiri.

Pemimpin berjuang bukan untuk satu dua orang, kelompok, atau golongan. Pikirannya jatuh pada semua kalangan. Bahkan, mengucur peluh dari suwung kesunyian. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Kerja tidak mau terlihat namun hasilnya luar biasa. Dinikmati banyak orang. Menjauhi sifat riya. Menjaga jarak dari puja-puji dunia.

Tutur katanya senantiasa bermanfaat. Bukan menimbulkan rasa resah di tengah-tengah rakyat. Tidak sekali memecah-belah umat. Apalagi cuma untuk kepentingan sesaat (politik praktis).

Pemimpin harus menguasai makna masalah. Artinya yang dituju bukan cuma seuntai maksud dari kalimat. Bukan pula penghias kulit sebuah kosa. Bicara pada tataran hakiki - kemudian temukan serta tentukan solusinya. Tidak perlu mengobral kata-kata. Mengurai inti masalah. Memecah pokok persoalan. Kemudian ia berbuat, berbuat, dan berbuat (doing) demi keselarasan, keseimbangan, serta kesejahteraan umat manusia.

Pemimpin itu tak bicara tetapi berbuat
Mengayun bakti dan juang tanpa terlihat
Sepi ing pamrih, rame ing gawe, semata untuk umat
Tatkala bertutur kata serta berbuat adalah manfaat
Demi keselamatan, keselarasan, dan kesejahteraan rakyat

Pemimpin itu tak membawa apa-apa
Kecuali sedikit dalam genggamannya
Amanah, kepasrahan, dan ketulusan rasa
Bukan pamrih, ujub, tak pula ada riya'
Menjauh dari fasik dan bisul wajah dunia

Pemimpin itu pengarung sejati
Melintas sunyi menguak gelap dunia
Menembus sepi mengurai remang hati
Menyelam samudra dzikir tak bertepi
Mengenal diri kemana bakal kembali

Pemimpin itu sendirian
Cuma berteman kebenaran
Tanpa kebenaran sendirinya tak berguna
Tanpa kebenaran kesendiriannya semu belaka
Bila kesendirian tak sesuai tuntunan dari Tuhannya
Jumpa beragam duga dan prasangka atas nama logika
Maka itulah kebenaran tanpa rasa, Cuma penafsiran belaka

Pemimpin itu tidak bicara
Juga tidak membawa apa-apa
Seperti rajawali ia terbang tinggi
Mengarungi gelap malam yang sunyi
Sendirian seolah tidak berteman hanya sendiri
Mengetahui Benar Jalan Hukum nan Kekal Abadi


Hamid Ghozali
Warung Contong Timur No 1 Cimahi
hamidghozali@hotmail.com