Tuesday, December 1, 2009

Dicari: Orang Kreatif

Sebuah perusahaan di Amerika menyeleksi calon karyawannya dengan cara yang unik, yaitu dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang membutuhkan kreativitas dalam menjawabnya. Bila jawabannya dianggap benar, ia akan langsung diterima di perusahaan tersebut.

Situasinya adalah seperti ini: Anda sedang mengendarai mobil yang hanya cukup untuk dua orang penumpang saja di tengah badai yang hebat. Mobil Anda lalu melewati halte tua dan di sana Anda melihat tiga orang tengah menunggu pertolongan. Orang pertama adalah seorang nenek yang nampak sudah sekarat karena kedinginan, orang kedua adalah seorang pria yang pernah menyelamatkan hidup Anda, dan yang ketiga adalah pujaan hati yang sudah lama Anda incar.

Pertanyaannya adalah karena mobil Anda hanya muat untuk satu orang saja ¡V karena yang satu sudah Anda duduki, manakah dari ketiga orang itu yang akan Anda tolong?

Sebelum Anda tahu jawaban mana yang paling benar, Anda tentunya sudah meraba bahwa kreatifitas dalam berpikir sangat dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan tadi.

Saat ini orang-orang kreatif sangat dibutuhkan di banyak perusahaan, tidak hanya sebatas di bidang periklanan atau industri film. Karena orang-orang yang pandai berkreasi dalam setiap situasi, adalah orang yang luwes dan termasuk dalam katagori orang yang memiliki Kecerdasan Emosi. Bukankah mereka yang berhasil dalam karir dan bisnis kebanyakan adalah yang memilki kecerdasan emosi ?

Kreativitas tidak berhubungan langsung dengan bakat. Kreativitas ditentukan oleh seberapa banyak pengetahuan yang tersimpan di "perpustakaan" memori Anda. Semakin sering dan banyak Anda membaca buku, semakin banyak pulalah inspirasi kreativitas tersimpan di hard disc otak Anda yang hingga saat ini kapasitasnya belum ada yang mampu menandingi, bahkan oleh komputer tercanggih sekali pun yang pernah diciptakan di muka bumi ini.

Para ahli menemukan bahwa kemampuan otak manusia baru dipakai sekitar 5% saja. Manusia yang diyakini telah menggunakan kapasitas otaknya sebesar 7% adalah Albert Einstein. Anda bisa mencoba untuk memaksimalkan kerja otak Anda dengan mencoba menjawab pertanyaan tadi.

Kita seringkali mudah melupakan isi buku yang pernah dibaca, namun bukan berarti itu sia-sia. Yang terpenting bukanlah rinciannya melainkan inti sari atau pesan moral yang akan mempengaruhi pola pikir pembacanya. Anda mungkin sudah lupa siapa nama bapak guru gank Laskar Pelangi dalam novel "Laskar Pelangi" yang luar biasa itu, tapi Anda tentu terinspirasi oleh novel atau film itu.

Jawaban kreatif yang dianggap benar oleh perusahaan tersebut rupanya adalah: Anda turun dari mobil lalu menemui orang yang pernah menyelamatkan hidup Anda, minta tolong untuk menyelamatkan nenek tua yang kedinginan itu. Sementara itu Anda menikmati saat-saat romantis berdua bersama dengan sang pujaan hati.

Kalau Anda tadi memilih menolong nenek tua yang sekarat, tidak usah kecewa, meskipun Anda tidak diterima bekerja, setidaknya Anda sudah menolong hidup seseorang.

With Love & Respect
Sigit Risat, Inspirator Hubungan Harmonis
Copy Paste dari JOBSDB.COM

Ketika Pemimpin Kehilangan Wibawa!

Ketika Pemimpin Kehilangan Wibawa!

Salah satu kriteria pemimpin idaman adalah yang berwibawa. Yaitu yang dengan karakter dan karismanya mampu ´menyihir´ bawahannya untuk senantiasa look up to kepada mereka dan mengikuti segala perintah dan arahannya. Dengan kewibawaannya, seorang bos dihormati dan dijadikan teladan oleh para bawahannya. Begitu besarnya pengaruh wibawa terhadap kepemimpinan seseorang sampai-sampai jika hilang, hancurlah citra seorang pemimpin di mata anak buahnya.

Sebelum membahas hilangnya wibawa, ada baiknya Anda mengetahui sumber kewibawaan. Diantaranya adalah kekuasaan untuk memerintah, kemampuan memberi penghargaan, legalitas dari pihak berwenang, keteladanan, keahlian, dan karisma. Sumber-sumber ini ada yang secara alamiah memang sudah ada dalam diri seorang pemimpin, ada pula yang diperoleh sebagai bagian dari kekuasaan yang didapatkan.



Lalu bagaimanakah jika kewibawaan Anda hilang? Bawahan tidak lagi menghormati Anda, kompetensi Anda diragukan, dan perlahan-perlahan semua orang mengacuhkan kepemimpinan Anda. Jika ini yang sedang menimpa Anda, berarti saatnya untuk memperbaiki diri karena kemungkinan besar Anda telah kehilangan respect dari mereka. Karyawan Anda tidak lagi melihat pemimpinnya seperti yang mereka harapkan.

Tidak mudah untuk mendapatkan kembali kewibawaan Anda dan earn respek dari bawahan Anda. Dibutuhkan waktu dan pembuktian nyata dari Anda yang bisa mereka rasakan. Namun ada beberapa langkah awal untuk mendapatkan kembali kewibawaan Anda adalah sebagai berikut :

1. Terjun langsung.
Ketika Anda melihat karyawan mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan, jangan melihatnya sebagai tanggung jawab mereka saja. Jump in dan bantu mereka dengan tindakan atau saran nyata dan bisa diaplikasikan. Karyawan akan melihat Anda sebagai atasan yang menyadari bahwa pekerjaan mereka penting dan bersedia terjun langsung menyelesaikan masalah.

2. Appreciative.
Banyak pemimpin yang lupa memberikan penghargaan bagi karyawan mereka. Padahal memberikan penghargaan bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana seperti mengucapkan terima kasih dengan tulus. Membuat karyawan merasa dihargai adalah salah satu cara memperoleh respek mereka.

3. Visionaris.
Komunikasikan pandangan, visi dan misi Anda untuk kemajuan perusahaan kepada karyawan Anda. Jika Anda tahu apa yang harus Anda lakukan dan berani menghadapi segala tantangan di masa depan, niscaya bawahan Anda akan merasa aman untuk menyerahkan kepercayaannya pada Anda.

4. Tingkatkan empati.
Belajarlah menjadi pemimpin yang peduli. Karyawan merasa senang dengan bos yang approachable, ramah dan memperhatikan mereka. Seorang pemimpin yang disegani dan dicintai bawahan biasanya yang bisa ‘merakyat’, yang dengan segala kerendahan hatinya mau mendengarkan aspirasi dan harapan para bawahannya.

5. Berilah inspirasi.
Sebagai pemimpin Anda wajib memiliki ide-ide cemerlang demi memajukan perusahaan. Share ide Anda dengan karyawan agar mereka terinspirasi dan termotivasi. Tapi tidak perlu juga terlihat sok pintar dan malah menganggap remeh kemampuan bawahan. Berikan kesempatan pada bawahan untuk mengembangkan potensinya.

6. Be a flexible boss.
Jangan hanya terpaku pada peran Anda sebagai bos. Perluas fungsi Anda di kantor, seperti menjadi teman berdebat yang cerdas, tempat curhat yang nyaman, dan teladan yang baik. Bawahan akan melihat Anda sebagai pribadi yang ‘segala bisa’ dan dinamis sehingga mereka pun dengan sendirinya mengakui kemampuan Anda untuk menjadi seorang pemimpin.

7. Konsisten.
Respek dari bawahan akan hilang jika Anda mengingkari apa yang Anda telah yakini atau anut selama ini atau melanggar prinsip Anda yang telah diketahui orang banyak. Bagaimana bawahan akan mengikuti Anda jika Anda sendiri tidak konsisten? Jadilah teladan yang baik agar mereka yakin bahwa mereka mengikuti orang yang benar dan ke arah yang benar.

Kewibawaan yang hakiki itu melekat pada karakter bukan sekedar tampilan luar yang setiap saat bisa luntur hanya karena suatu kesalahan. Maka terapkan kewibawaan dalam kehidupan sehari-hari agar berefek lebih lama dan natural bagi karyawan Anda.

Remember! :
Apapun sumber kewibawaan Anda, pastikan bahwa Anda tetap menjadi pemimpin yang seimbang memberikan reward dan punishment.

(Dicopy paste dari artikel di JobsDB.Com)

Wajah Lain Pesantren

Jakarta(majalah.tempointeraktif.com --kurnia) Pondok pesantren tak hanya mengajarkan agama, tapi juga bisnis. Sebagian lagi menjadi pelopor pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Inilah fikih sosial mereka.
PESANTREN dan terorisme. Dua kata ini kerap dikait-kaitkan saat aksi terorisme mewabah di Indonesia belakangan ini. Harap maklum, sebagian besar pelaku dan tersangka tindak kejahatan itu memang alumni pondok pesantren.
”Stigmatisasi terhadap pesantren saat ini luar biasa dan telah menjadi sebentuk kebencian terhadap Islam,” kata Choirul Fuad Yusuf, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama, dalam diskusi di kantor majalah Tempo pada 3 September lalu.
Diskusi itu juga dihadiri Masdar Farid Mas’udi, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M); Khaeroni, Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Santri dan Layanan pada Masyarakat; dan Undang Sumantri, Kepala Subbagian Tata Usaha Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama.
Fuad menyatakan stigmatisasi itu muncul, misalnya, ketika dia menyampaikan makalah berjudul ”Pertumbuhan Luar Biasa Pesantren di Indonesia” dalam konferensi tahunan National Association of Foreign Student Advisers di Los Angeles, Amerika Serikat, akhir Mei lalu.
”Pertanyaan yang muncul dalam konferensi itu kebanyakan soal radikalisme, madrasah sebagai tempat pengkaderan teroris, apalagi pesantren. Jadi, madrasah disamakan dengan madrasah di Afganistan,” kata Fuad. Madrasah di Afganistan mendapat cap miring karena banyak militan Taliban direkrut dari madrasah tersebut.
Madrasah di Indonesia, kata Fuad, sama dengan sekolah umum, dengan muatan khusus pendidikan Islam. ”Dari 21 ribu lebih pesantren saat ini, tidak ada yang mengajarkan kekerasan, apalagi yang mengarah pada terorisme,” katanya.
Departemen Agama mencatat saat ini ada 21.521 pesantren dengan 3.818.469 santri. Jumlah pesantren itu naik hampir empat kali lipat dalam 20 tahun terakhir dan dua kali lipat dalam 6 tahun terakhir. Pada 1985 tercatat ada 6.239 pesantren dengan 1 juta lebih santri dan pada 2001 ada 11.312 pesantren dengan 2.737.805 santri. Ini tidak termasuk pesantren yang belum terdaftar di departemen tersebut.
Pondok-pondok pesantren itu tak berwajah tunggal. Ada yang mengajarkan pentingnya merawat harmoni sosial dan toleransi antar-umat beragama. Ada pula yang menggendong ideologi politik Timur Tengah, seperti Wahabisme, Ikhwanul Muslimin, dan Talibanisme. Tak sedikit dari pesantren ini yang mengintroduksi jalan-jalan kekerasan dalam menjalankan ajaran Islam.
Menurut Fuad, pemerintah berupaya mendorong pondok-pondok pesantren agar tak hanya menjadi tempat belajar agama Islam, tapi juga menjadi agen perubahan sosial, motivator, dan aktor bagi masyarakat sekitarnya. Peran itu sudah dilakukan oleh beberapa pesantren, seperti Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Babakan Jampang, Ciwidey, Bandung, yang mengajak masyarakat sekitar mengelola sayur-mayur, dari budi daya hingga pemasarannya.
”Pesantren itulah yang menyalurkan produk pertanian masyarakat ke supermarket-supermarket. Para santrinya juga diajari pemasaran dengan berdasi. Jadi, jangan dikira bahwa para santri kini cuma bersarung dan berkerudung,” kata Choirul.
Masdar Farid Mas’udi, yang juga Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menuturkan bahwa peran pesantren dalam memberdayakan masyarakat sudah berlangsung lama. ”Bahkan sebenarnya pesantren umumnya didirikan dengan tujuan memberdayakan masyarakat sekitarnya,” kata pengasuh Pesantren Unggul Al-Bayan di Sukabumi, Jawa Barat, itu.
Gerakan pemberdayaan itu menguat pada 1970-an dan 1980-an, bersamaan dengan dijalankannya banyak program kemasyarakatan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat melalui pesantren, seperti yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Bina Desa, Bina Swadaya, dan P3M yang dipimpin Masdar. ”Namun program pemberdayaan masyarakat ini hanya meletakkan pesantren sebagai pintu masuk atau batu loncatan,” kata Masdar.
Masdar mencontohkan program Keluarga Berencana yang diperkenalkan ke masyarakat melalui pintu pesantren, sehingga masyarakat tak lagi mempermasalahkannya. ”Legitimasinya sudah tidak dipertanyakan lagi karena sudah didukung kiai,” katanya.
Nah, beberapa kiai kemudian berembuk untuk membentuk P3M dengan tujuan memberdayakan masyarakat melalui, oleh, dan bersama pesantren. Dasarnya adalah fikih sosial, yakni pengembangan dan kepedulian kepada masyarakat itu sebenarnya dilakukan bukan karena ada pesanan atau program atau dana dari luar, melainkan sebagai tanggung jawab pesantren itu sendiri sebagai pusat keagamaan. ”Kami berharap pengembangan masyarakat oleh pesantren itu menjadi agenda pesantren itu sendiri, bukan sekadar pintu masuk atau lampiran dari pesantren,” katanya.
Secara historis pun pesantren muncul karena ingin mengasuh masyarakat. Masdar mencontohkan peran Pesantren Tebuireng yang berdiri di tengah Kota Jombang ketika ada masalah antara petani tebu dan pabrik gula karena pabrik menetapkan harga yang rendah. Pemimpin pesantren itu menyokong pembentukan paguyuban petani, yang kemudian mendatangi pihak pabrik untuk memperbaiki harga dan budi daya tebu.
Pesantren masa kini, kata Masdar, juga merupakan perkembangan dari intervensi pemerintah melalui kurikulum dan standardisasi pendidikan, yang mulai terlihat pada 1980-an. Hal ini menyebabkan ongkos sekolah di pesantren jadi mahal dan membuat mereka berpaling ke sumber dana yang ada, yakni pemerintah.
”Inilah mulai hilangnya independensi pesantren terhadap kekuasaan. Padahal independensi menjadi ciri pesantren dan keulamaan, yaitu duduk setara dengan umara (pemimpin), jadi bisa mengatakan tidak dalam hal harus mengatakan tidak, dan mengatakan ya bila harus ya,” ujarnya.
Dampak dari formalisasi pendidikan pesantren ini juga berpengaruh pada hubungan santri-kiai. Dulu, kalau santri datang ke pesantren, pasti ia diserahkan sepenuhnya oleh orang tuanya kepada sang kiai. ”Sekarang santri datang ke pesantren itu bukan ke kiai lagi, tapi ke bagian tata usaha. Jadi, kalau urusan bagian tata usaha sudah selesai, bisa datang sowan ke kiai bisa tidak. Kiai sudah tidak pegang otoritas apa-apa di situ,” kata Masdar.
Meski demikian, masih banyak pesantren yang mencoba mandiri dengan cara masing-masing, bahkan mampu memberdayakan masyarakat sekitarnya. Untuk memotret kepeloporan pesantren itulah Tempo menurunkan laporan sejumlah pesantren di Tanah Air. Sebagian besar merupakan masukan dari Departemen Agama dan sebagian lagi muncul dalam diskusi redaksi.
Ada delapan pesantren yang diangkat kali ini, yakni Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Pesantren Al-Amin di Tasikmalaya, Pesantren As-Salafiyyah di Mlangi, Yogyakarta, Pesantren Qamarul Huda di Lombok, Pesantren Darul Arafah dan Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah di Sumatera Utara, serta Pesantren Salafiyah Safi’iyah di Gorontalo.
Lembaga-lembaga itu mencerminkan wajah lain pondok pesantren. Pesantren Sidogiri, misalnya, memelopori wirausaha melalui koperasi di pesantren, yang ternyata juga mendorong perekonomian masyarakat setempat. Kini mereka telah memiliki sedikitnya sepuluh unit usaha, dari toko buku hingga studio foto. Sayap usaha lain adalah produksi air minum kemasan bermerek Santri, penerbitan kitab, dan busana muslim.
Adapun Pondok Pesantren Qamarul Huda di Lombok mengkampanyekan lingkungan hijau dengan mengajak warga menanam pohon di halaman rumah masing-masing. Mereka juga menjadi mitra pemerintah dalam menangani kerusakan hutan dengan menanami lahan seluas 200 hektare.
Lain lagi dengan Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Provinsi Gorontalo. Pesantren ini aktif membina kerukunan dengan warga Hindu, yang dianut hampir separuh warga desa, dan warga Kristen. Pondok itu juga memelopori pembangunan desa dengan mendorong berbagai usaha, termasuk agrobisnis dan peternakan sapi. Warga juga dilibatkan dalam pemeliharaan sapi dengan metode bagi hasil.
Pesantren-pesantren ini hanya potret kecil dari begitu beragam dan banyaknya pesantren di Indonesia. Namun kepeloporan mereka setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lain di Nusantara.

Thursday, August 6, 2009

Bersikap tidak profesional dalam mendidik.

Profesional. Di dunia modern seperti ini, segala sesuatu harus dilakukan secara profesional. Pekerjaan tertentu diserahkan kepada profesi dan ahlinya. Tidak terkecuali di bidang pendidikan.

Sebut saja Sekolah Internasional Dwi Warna di Parung misalnya. Mereka adalah salah satu contoh sekolah yang bisa dibilang menjunjung tinggi profesionalitas dalam manajemen pendidikan mereka.

Administratur dipilih dari mereka yang memang ahli didalam mengurusi administrasi, kalau perlu dipilih mereka yang kuliah minimal IPK 3.00 di bidang administrasi. Tenaga Satpam diambil dari pensiunan polisi yang bisa tersenyum, minimal pernah mendapatkan pendidikan satpam yang benar atau berpengalaman sebagai Satpam selama beberapa tahun. Begitupun penjaga toko franchise milik sekolah yang dipilih oleh lembaga outsource yang dipercaya sehingga tidak ada rutinitas mengajari murid baru pembukuan dagang. Jangankan Guru yang jelas-jelas berkaitan langsung dengan pendidikan, bahkan kalau perlu, kebersihan kelas dan lingkungan mereka di outsource ke perusahaan cleaning service ternama. Bayarannya? Jelas dibayar secara profesional sesusai standard nasional.

Intinya; seluruh bidang pekerjaan di serahkan kepada ahlinya masing masing. Profesional!

Lalu apa tugas murid? Ya sesuai dengan profesi mereka; belajar! Belajar di kelas ataupun dilibatkan di kegiatan intra atau extra kurikuler.

Orang tua pun rela membayar mahal asal putra-putri mereka dididik secara profesional oleh guru dan administratur dengan manajemen yang profesional. Dengan cara itu, mereka bisa fokus mengembangkan kemampuan akademis ataupun non-akademis lainnya. Mereka adalah “customer” yang harus di penuhi “kebutuhan” dasarnya; mendapatkan lingkungan dan pendidikan secara profesional. Bukan untuk disuruh nguras kamar mandi apalagi WC.

Keuntungan pola ini jelas; lembaga dan murid bisa fokus mengembangkan kemampuan mereka. Pihak manajemen pun tidak usah pusing dengan desain interior kantor mereka misalnya karena sudah diserahkan kepada ahlinya.

Hampir seluruh lembaga pendidikan terkemuka menerapkan system manajemen yang serupa dan ramai-ramai menyatakan bahwa lembaga mereka menerapkan manajemen pendidikan secara profesional. Hampir.

Hanya ada segelintir lembaga pendidikan yang sengaja menyatakan bahwa manajemen pendidikan mereka penuh dengan “ketidak profesionalan”. Ya. Tidak profesional!

Gontor contohnya.

Istilah ini dikemukakan Kiai Syukri Zarkasyi yang mengatakan bahwa Gontor memang sengaja bersikap tidak profesional didalam manajemen kesehariannya.

Dalam kesehariannya, benar bahwa tidak ada profesi yang benar-benar ahli di bidangnya di dalam lembaga tersebut. Tidak ada satpam yang profesional disana untuk menjaga keamanan. Tidak ada administratur bagian keuangan jebolan S1 jurusan akuntasi yang profesional untuk mencatat laba dan rugi. Tidak ada penjaga toko yang di outsource secara profesional untuk mengatur stocking barang di koperasi. Bahkan, tidak ada tukang listrik profesional yang merangkap bagian diesel yang sangat vital mengatur kelistrikan disana.

Tidak ada profesi disana kecuali satu; semua menjadi “pelajar” yang terlibat di dalam proses pendidikan. Tidak peduli apakah ia santri, guru ataupun administratur, semuanya berperan untuk menggerakkan roda kehidupan di Kampung Damai.

Profesional? Jelas tidak! Bagaimana mau dibilang profesional kalau kebanyakan mereka adalah santri yang mungkin saja baru berumur remaja. Tiap saat ada saja pelatihan-pelatihan bagi “pegawai” baru setiap bidang. Bagian koperasi dilatih untuk membuat catatan keuangan. Bagian fotografi harus dilatih bagaimana mengambil angle yang baik didalam memfoto. Bagian diesel diajari untuk mengganti oli diesel oleh seniornya yang telah selesai “menjabat” selama satu tahun sebelumnya. Dan itu dilakukan setiap tahun berulang-ulang.

Lalu, bagaimana kalau mereka salah dalam menghitung dan menyebabkan kerugian pondok jutaan rupiah? Bagaimana jika diesel yang ada tiba-tiba ngadat dan tidak mau berfungsi sehingga Pondok gelap gulita selama beberapa jam karena lupa diganti olinya? Atau bagaimana jika foto-foto sang Presiden RI yang berkunjung ke Gontor yang diambil oleh fotografer baru itu tidak fokus wajahnya? Ya itulah bagian dalam proses pendidikan. Tidak ada kata salah di dalam belajar. Yang tidak boleh adalah jatuh dilubang yang sama untuk kedua kalinya.

Bulis malam yang berfungsi sebagai penjaga keamanan hanyalah sekelompok anak santri yang kalau berhadapan dengan maling pasti mereka lari terbirit-birit. Santri bertugas menjaga kebersihan kamar dan lingkungannya sendiri, kalau perlu menguras kamar mandi dan WC mereka setiap hari jum’at, seperti yang masih berjalan hingga hari ini.

Apakah mereka dibayar sesuai standard profesi mereka? Boro boro! Yang ada malah di marahin oleh Kiai karena tidak becus menghitung.

Tapi, semua itu merupakan proses pendidikan integral yang diyakini Gontor akan bermanfaat untuk membentuk karakter santri itu sendiri sebagai kader. Mereka sendiri adalah kader itu sendiri dan keseluruhan proses itu diyakini dengan total dengan sepenuh keyakinan dan disampaikan secara efektif kepada stake holders sebagai sebuah proses pendidikan, termasuk orang tua mereka.

Jarang ada orang tua santri yang protes anaknya disuruh membersihkan kamar mandi ataupun WC karena mereka yakin akan Gontor dan pola pendidikan mereka. Mereka justru membayar agar putra-putrinya belajar membersihkan kamar mandi dan WC mereka!

Mereka yakin akan pendidikan mereka.

Pertanyaannya, mana yang lebih baik?

Tidak ada jawaban mutlak karena keduanya adalah pilihan yang memakai frame yang berbeda dengan keyakinan masing-masing yang berasal dari tujuan pendidikan lembaga itu sendiri.

Perbedaan ini mungkin bermula dari perbedaan cara pandang merumuskan pendidikan itu sendiri.

Dwi Warna memilih merumuskan pendidikan dengan definisi terbatas bahwa apa yang penting ditanamkan dalam pendidikan murid-murid mereka adalah apa yang menyangkut dengan kehidupan akademik di kelas dan seputaran ekstra kurikuler.

Dilain pihak, Gontor memandang pendidikan dengan batasan yang jauh lebih luas melampaui ruang-ruang kelas. Istilah mereka; apa yang dilihat, apa yang disentuh, apa yang dirasakan oleh santri adalah bagian dari pendidikan Gontor.

Orang tua dari murid Dwi Warna senang karena putra-putri mereka dijaga di lingkungan yang aman dikelola dengan manajemen profesional sehingga putra-putri mereka bisa fokus belajar untuk meningkatkan kemampuan akademis dan non-akademis mereka.

Orang tua murid dari santri Gontor pun berkeyakinan dengan apa yang di perlakukan kepada putra-putri mereka karena mereka yakin bahwa hal tersebut akan bermanfaat untuk masa depan mereka.

Tidak ada yang mutlak benar di keduanya. Yang ada hanyalah bahwa masing-masing cocok dengan tujuan pendidikan lembaga sesuai kebutuhan “customer”nya.

Satu yang harus dihindari adalah ketidak jelasan positioning karena terjebak diantara keduanya.

Dalam dunia manajemen, Porter-sang Guru Manajemen mengistilahkannya; stuck in the middle! Tidak jelas positioningnya!

Justru itulah masalah yang di khawatirkan dialami Darunnajah.

Darunnajah sedang berada di persimpangan jalan, dan harus memilih diantara keduanya agar tidak terjebak diantara dua pandangan tersebut.

Sayangnya, beberapa kebijakan yang dibuat mengindikasikan bahwa Darunnajah terjebak diantara keduanya.

Pada awalnya, Darunnajah dulu seingat saya pernah “tidak profesional” dan bahkan dengan jelas dikatakan bahwa Darunnajah adalah Pesantren di Ibukota dengan model pendidikan ala Gontor. Hal ini bisa dilihat dari dokumentasi di media massa tentang pernyataan pendiri, KH Mahrus Amien yang bahkan menyebut Darunnajah sebagai “Gontor versi Jakarta”.

Tetapi, Jakarta tidaklah sama dengan Ponorogo. Seiring berjalannya waktu, kepungan dunia Modern yang jauh lebih dinamis dari Ponorogo membentuk permasalahan tersendiri bagi Darunnajah. Pada kenyataannya, memang“Customer” dan lingkungan Darunnajah tidaklah sama dengan “customer” Gontor, baik dari segi ekonomi, cultural dan budaya.

Seiring dengan berjalannya waktu, banyak hal- terutama lokasi di perkotaan, kemudahan orangtua invtervensi dan segala eksesnya-yang memaksa Darunnajah untuk mencari bentuk mereka sendiri. Ijtihad mereka membawa mereka untuk bersikap lebih professional, satu sikap yang bukan bagian dari idealisme Gontor.

Tuntutan orang tua santri terutama sangat kuat karena kebanyakan mereka sendiri adalah kalangan profesional perkotaan. Menurut data PPMB lima tahun terakhir, lebih dari 70% santri berasal dari kalangan masyarakat profesional perkotaan yang maaf; tidak sepenuhnya faham dan akrab dengan idealisme Gontor yang “tidak profesional” tersebut. Karakter mereka bahkan lebih mirip dengan orang tua santri Dwi Warna, setidaknya secara budaya perkotaan dan level ekonomi.

Darunnajah pun mulai merasa perlu mendengar masukan tersebut dan mulai merespon tantangan-tantangan yang ada.

Ambil satu contoh yang gampang terlihat; masalah keamanan ataupun kebersihan. Pada awal perkembangannya, Darunnajah memandang bahwa bidang keamanan dan kebersihan adalah bagian dari pendidikan yang harus diserahkan kepada anak didik. Bulis malam (Ronda malam) digilirkan kepada anak santri. Membersihkan lingkungan menjadi tanggung jawab santri. Pengelolaan dan pengawasan kamar-kamar pun diserahkan kepada santri senior yang terpilih menjadi mudabbir.

Ternyata, untuk bersikap “tidak professional” tidak semudah di Gontor yang jauh dari jangkauan kebanyakan wali santri. Mudahnya lokasi Darunnajah dijangkau menjadi permasalah tersendiri bagi lembaga yang sedang mencari bentuk tersebut. Banyak orang tua santri yang tidak faham akan idealisme pendidikan menyeluruh yang diterapkan di Gontor dan Darunnajah awal. Kenapa masih saja ada barang yang hilang? Kenapa anak mereka disuruh membersihkan WC mereka? Kenapa wewenang menghukum diserahkan kepada senior, dan bukan ustadz yang lebih dewasa? Kenapa anak mereka tidak diurus secara professional?

Seiring berjalannya waktu dan tuntutan orang tua santri dan lingkungan, Darunnajah pun mulai mencoba mengarah untuk lebih profesional.

Untuk masalah keamanan di serahkan kepada satpam. Kebersihan lingkungan diserahkan kepada karyawan kebersihan. Pengawasan santri dan kehidupan mereka diserahkan kepada yang lebih berwenang; ustadz musyrif, yang pastinya jauh lebih dewasa dibandingkan oleh santri mudabbir yang dianggap tidak lagi becus diberi wewenang untuk menghukum. Tidak ada lagi cerita santri ikut terlibat nge-cor bangunan pondok. Semuanya diserahkan kepada orang lain. Kepada ahlinya.

Terlihat disini sepertinya Darunnajah akan menuju satu kutub; Profesional.

Satu yang Darunnajah tidak bisa lupakan adalah bahwa darah Gontor mengalir deras di urat nadi mereka. Ke “tidak profesional” an adalah pola yang menjadi pola pendidikan yang mereka anut sejak awal. Ada ketidaksesuaian dan ketidakyakinan akan idealisme dan tujuan pendidikan disini. Ada yang tidak tercapai.

Mereka sadar bahwa idealisme pendidikan profesional bukanlah idealisme pendidikan yang mereka yakini.

Darunnajah pun mulai merevisi kebijakannya meskipun masih terkesan malu-malu.

Satpam mulai di kritik keberadaannya. Bulis malam mulai diadakan kembali. Musyrif mulai dikurangi wewenangnya dan diserahkan kepada mudabbir dan OSDN. Santri pun diminta kembali untuk terlibat didalam membersihkan kamar mandi mereka.

Idealisme pendidikan mereka kembali kearah “tidak profesional”, kearah pendidikan dengan pandangan holistic; apa yang dilihat, apa yang disentuh dan apa yang dirasa oleh santri.

Pendidikan manusia seutuhnya yang tidak dibatasi oleh tembok kelas.

Thursday, July 23, 2009

Rilis program EWC di media massa

dikutip dari:

http://beta.antaranews.com/view/?i=1247686556&c=NAS&s=PDK

http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/766/16/7/2009/Lima-Guru-Amerika-Belajar-Pendidikan-Pesantren

http://epaper.republika.co.id/berita/62768/5_Guru_Amerika_Belajar_di_Pesantren

Ambon, 16/7 (ANTARA) - Sedikitnya lima orang guru wanita dari lima kota berbeda di Amerika Serikat (AS) akan mempelajari manajemen pendidikan pesantren pada sejumlah pondok pesantren (ponpes) di Yogyakarta.

"Mereka akan tinggal selama sepekan untuk mempelajari proses belajar-mengajar serta kurikulum pendidikan yang diterapkan pada beberapa pondok pesantren di Yogyakarta," kata Director AsiaPacifiCed Program East-West Center, Namji Steinemann, di Ambon, Rabu.

East-West Center, adalah lembaga penelitian dan pendidikan Amerika Serikat berkedudukan di Hawaii, yang didirikan oleh Kongres AS pada tahun 1960.

Lembaga tersebut bertugas untuk menciptakan terwujudnya pengertian dan pemahaman antarbudaya negara-negara di Amerika dan Asia Pasifik.

Dalam programnya lembaga ini memiliki jaringan luas pada sekitar 500-600 sekolah di Amerika yang selalu berinteraksi dengan sekolah-sekolah di negara-negara Asia Pasifik.

Lembaga ini sangat tertarik dengan pola pendidikan pondok pesantren yang diterapkan di Indonesia dan ingin dikembangkan di negara lain.

Lima orang guru wanita dari lima kota berbeda di AS, yaitu Barbara Laman asal New York, Charoline Aloxopeus asal Conneticut, Sussana Bunchan asal Michigan, Susan Milos asal California dan Judith Carter asal Georgia.

Selama tinggal di ponpes, mereka juga akan berusaha untuk mengenal lebih jauh pola kehidupan para santriawan dan santriawati di setiap pondok pesantren, guna dijadikan bahan untuk dibagikan kepada para guru dan siswa di Amerika setelah mereka kembali.

Selain tinggal selama sepekan di ponpes, Namji Steinemann bersama lima orang guru itu juga akan mengunjungi yayasan milik Romo Mangun guna mempelajari berbagai hal yang dikembangkan di yayasan tersebut.

"Kami juga akan bertemu para akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) serta berdialog dengan tokoh-tokoh politik guna membuka wawasan kami tentang kondisi politik di Indonesia," kata dia.

Berbagai hal yang dilakukan ini, menurut Steinemann, tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa sebenarnya bangsa Indonesia bisa berkembang atas inisiatif dan idenya sendiri dan bukan ide impor dari negara lain.

Namji Steinemann, bersama lima guru wanita dan berbagai wilayah di Amerika itu berada di Ambon selama empat hari dalam rangka memfasilitasi program Partnership for Schools Indonesia, yang melibatkan 25 siswa SMP Kristen Rehoboth dan 25 santri Pesantren Darul Quran Al-Anwariyah, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Pulau Ambon, Maluku Tengah dalam sebuah pertemuan dan interaksi sosial secara bersama.

Para siswa dari dua lingkungan berbeda itu sebelumnya telah menjadi sahabat pena dan saling menyurat dan berkenalan sejak awal Juli lalu, tetapi baru bertemu untuk pertama kalinya pada Senin (13/7) lalu.

Menurut Steinemann, di dunia pendidikan seringkali masalah perdamaian dibicarakan dan pertemuan yang dilakukan untuk 50 siswa dari dua lembaga pendidikan berbeda itu, dimaksudkan untuk menciptakan terwujudnya pengertian dan pemahaman diantara mereka. "Agama bukan faktor penghalang bagi anak-anak untuk bertemu dan berinteraksi sosial secara bebas," katanya.

Khusus mengenai Kota Ambon, tandasnya, awalnya dikenal melalui salah seorang guru pesantren yang sedang belajar di Hawaii, di samping ketertarikan akan untuk sejarah tentang pulau rempah-rempah yang menarik perhatian negara barat menjajah Indonesia.

"Wajar program ini dilakukan di Ambon karena selain positif bagi siswa dua komunitas, nama besar Ambon dan Maluku yang menyebabkan Columbus bisa menemukan benua Amerika. Colombus pernah tersesat sampai di Pulau Banda. Ini cerita menarik untuk diurai dan Banda adalah Bali di Maluku," kata Steinemann.(*)

"seed of friendship" Ambon

(Ditulis dalam perjalanan ke Cidokom yg macetnya bukan main krn perbaikan jalan)

Salah satu kenyataan yg membuka mata Guru2 AS tentang kualitas pendidikan pesantren adalah ketika program kolaborasi 2 sekolah di Ambon (pesantren Darul Qur'an salaf tingkat Wustho & SMP kristen Rehoboth) yg mempertemukan 50 murid (masing2 25) dalam 2 hari kegiatan "seed of friendship".

Dengan tidak mengenal satu sama lain sebelumnya kecuali melalui saling kirim surat kepada pasangan "sahabat pena" dari sekolah partnernya, mereka di libatkan dalam kegiatan2 ala pramuka, termasuk ice breaking, team working dan melukis masing2 harapan dari pasangan yang memaksa mereka mengenal satu sama lain tanpa membedakan agama mereka. Hal ini menjadi penting mengingat konflik berkepanjangan yang ada terkait isu agama (Islam & Kristen) dan misi program ini menyatukan kembali masyarakat utk hidup dgn damai.

Kualitas pendidikan pesantren terlihat jelas dalam sesi team working di hari kedua. Meskipun tidak saling kenal satu sama lain, terlihat jelas bahwa siswa2 dari Pesantren sangat dominan dalam leadership di masing2 grup yg sengaja dibentuk utk bercampur baur tanpa membedakan jenis kelamin atau agama. Secara umum, santri2 Darul Quran, terlepas dari tingkat ekonomi mereka, jauh lebih percaya diri, lebih inisiatif, lebih lepas, lebih tangkas secara sosial di hampir seluruh kegiatan. Hal ini terlihat secara mencolok oleh guru2 AS yg menjadi pengawas.

Walhasil, hal2 kecil tersebut diatas bisa merubah persepsi mereka tentang pesantren (dan Islam).

Terbukti, sesaat mendengar Jakarta di bom dan banyaknya WNA yg jadi korban, simak jawaban mereka ketika saya tanya apakah mereka takut dan khawatir dan apakah mereka akan membatalkan rencana homestay mereka di pesantren; "kami tidak takut sama sekali dan kami merasa aman berada dibawah naungan pesantren".

Wednesday, July 22, 2009

Uncovering Indonesia; East West Center-Darunnajah Summary

Uncovering Indonesia; Program kerjasama East West Center dengan Darunnajah



Susan Buchan (51) adalah salah satu dari enam Guru USA yang merasakan “nyantri” di pesantren Cipasung, Tasikmalaya selama seminggu. Dia tinggal disalah satu host family pesantren, Ibu Ida yang juga ustadzah di pesantren tersebut. Tidak hanya mengajar di kelas, Susan yang menjabat guru BP (Pengasuhan santri) di sekolahnya di Ann Harbour, Michigan tersebut juga mengikuti dengan seksama kegiatan khas pesantren, pecan Khutbatul ‘Arsy di Cipasung yang menampilkan seluruh kegiatan santri tersebut. Saking terkesimanya dengan dinamika kehidupan pesantren, Susan pun berencana akan mengusulkan kegiatan serupa di sekolahnya kelak ketika kembali ke Michigan, USA.

Pengalaman serupa juga dialami oleh 5 guru AS lainnya. Mereka berasal dari Negara bagian berbeda di USA dan homestay di pesantren-pesantren berbeda di pelosok Indonesia dari mulai Madinatunnajah di Serang, Al-Ikhlas di Kuningan, Cipasung di Tasikmalaya, Matholi’ul Falah asuhan Kiai Sahal Mahfudz di Pati hingga Darul Furqon di Lombok.

Sejak 8 July hingga 25 July ini, guru-guru AS tersebut bersama-sama mengikuti program Travel & Teach 2009 yang bertemakan: Uncovering Indonesia. Program ini adalah program yang dilaksanakan oleh East West Center, lembaga riset dan beasiswa yang didanai oleh Kongress Amerika yang berkantor pusat di Hawaii dan Darunnajah International Relations Office (DIRO) sebagai host partner.

Sebelum homestay, guru-guru tersebut juga berkunjung ke Ambon untuk melaksanakan program “seed of friendship”, program yang berusaha menanam benih persahabatan bagi generasi muda Ambon yang sempat terpecah karena konflik berlatar belakang agama tersebut. Selain itu, banyak variasi program lainnya seperti exploring spices in Banda Island, kunjungan ke situs-situs bersejarah dan pendidikan di Yogyakarta termasuk Borobudur, Legacy of Romo Mangun, ICRS UGM bahkan mengikuti jama’ah maiyah interaktif Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Kasihan Bantul.



Menurut Direktur Program tersebut, Namji Steinemann dari East West Center tujuan program ini adalah diharapkan bahwa sekembalinya dari Indonesia, guru-guru tersebut bisa memuaskan antusiasme anak murid mereka yang ingin mengetahui lebih jauh wajah Indonesia yang sesungguhnya. Beliau menambahkan, antusiasme tersebut sangat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa rakyat Amerika kini memiliki presiden yang ada kaitannya dengan Indonesia, Barack Obama.

Meskipun program ini banyak mengupas keterkaitan sejarah dan kebudayaan dan keterkaitan kurikulum sekolah-sekolah di USA dengan Indonesia secara luas, dalam program ini pesantren tidak hanya menjadi vocal point, tetapi juga menjadi partner kerja yang dipercaya.

In-country coordinator program ini, Ustadz Dedy dari Darunnajah menjelaskan kenapa Darunnajah menerima tawaran menjadi host partner adalah karena program ini sejalan dengan visi dakwah lembaga ini. Diharapkan, dengan membantu memfasilitasi keinginan yang kuat dari masyarakat dunia, khususnya rakyat Amerika, yang memandang Indonesia adalah Negara Muslim yang sangat strategis dan bisa menampilkan wajah Islam moderat (ummatan wasathon) yang bersahabat.

Efektifitas dan keberhasilan program ini bisa disimak dari jawaban spontan guru-guru tersebut ketika mendengar adanya Bom di Jakarta beberapa waktu lalu; “kami tidak khawatir sama sekali karena kami merasa aman berada di lingkungan pesantren”.

Raja Mamala, Ambon



Raja Mamala (Abdullah) dari jazirah Lehitu di Ambon yg seluruh penduduknya adalah Islam sedang menunjukkan rempah2 (lada) kpd rombongan EWC. Hukum adat lokal masih berlaku disini.

Orang2 Lehitu inilah yg menjadi inti dari masyarakat muslim Ambon yg berani melawan penjajah belanda dan mengusir mereka dari Ambon. Mereka pula yg menjadi pasukan barisan paling depan ketika konflik Ambon yg sangat ditakuti lawan.

Didinding rumahnya terdapat foto sdg diterima SBY dan Kalla, jg sdg berada di Swedia. Ternyata beliau adalah ketua asosiasi Raja2 Ternate yg juga jadi tokoh utama perdamaian Ambon di Malino.

Rombongan EWC sangat antusias bisa bertemu "King" dan memakai toilet dirumahnya. Mereka jg menanyakan no.hp-nya beliau, karena; jarang2 punya no telp seorang Raja. Bahkan Barbara jg sempat bertanya apa sang Raja juga punya account facebook! Haha.. Emangnya Kiai Darunnajah? Hehe..

Sent from BlackBerry® smartphone min fadhli Rabbii..

Uncovering Indonesia; East West Center-Darunnajah

Here's the link of program that we organized currently: Uncovering Indonesia.
http://forum.eastwestcenter.org/2009p4s/