Jakarta(majalah.tempointeraktif.com --kurnia) Pondok pesantren tak hanya mengajarkan agama, tapi juga bisnis. Sebagian lagi menjadi pelopor pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Inilah fikih sosial mereka.
PESANTREN dan terorisme. Dua kata ini kerap dikait-kaitkan saat aksi terorisme mewabah di Indonesia belakangan ini. Harap maklum, sebagian besar pelaku dan tersangka tindak kejahatan itu memang alumni pondok pesantren.
”Stigmatisasi terhadap pesantren saat ini luar biasa dan telah menjadi sebentuk kebencian terhadap Islam,” kata Choirul Fuad Yusuf, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama, dalam diskusi di kantor majalah Tempo pada 3 September lalu.
Diskusi itu juga dihadiri Masdar Farid Mas’udi, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M); Khaeroni, Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Santri dan Layanan pada Masyarakat; dan Undang Sumantri, Kepala Subbagian Tata Usaha Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama.
Fuad menyatakan stigmatisasi itu muncul, misalnya, ketika dia menyampaikan makalah berjudul ”Pertumbuhan Luar Biasa Pesantren di Indonesia” dalam konferensi tahunan National Association of Foreign Student Advisers di Los Angeles, Amerika Serikat, akhir Mei lalu.
”Pertanyaan yang muncul dalam konferensi itu kebanyakan soal radikalisme, madrasah sebagai tempat pengkaderan teroris, apalagi pesantren. Jadi, madrasah disamakan dengan madrasah di Afganistan,” kata Fuad. Madrasah di Afganistan mendapat cap miring karena banyak militan Taliban direkrut dari madrasah tersebut.
Madrasah di Indonesia, kata Fuad, sama dengan sekolah umum, dengan muatan khusus pendidikan Islam. ”Dari 21 ribu lebih pesantren saat ini, tidak ada yang mengajarkan kekerasan, apalagi yang mengarah pada terorisme,” katanya.
Departemen Agama mencatat saat ini ada 21.521 pesantren dengan 3.818.469 santri. Jumlah pesantren itu naik hampir empat kali lipat dalam 20 tahun terakhir dan dua kali lipat dalam 6 tahun terakhir. Pada 1985 tercatat ada 6.239 pesantren dengan 1 juta lebih santri dan pada 2001 ada 11.312 pesantren dengan 2.737.805 santri. Ini tidak termasuk pesantren yang belum terdaftar di departemen tersebut.
Pondok-pondok pesantren itu tak berwajah tunggal. Ada yang mengajarkan pentingnya merawat harmoni sosial dan toleransi antar-umat beragama. Ada pula yang menggendong ideologi politik Timur Tengah, seperti Wahabisme, Ikhwanul Muslimin, dan Talibanisme. Tak sedikit dari pesantren ini yang mengintroduksi jalan-jalan kekerasan dalam menjalankan ajaran Islam.
Menurut Fuad, pemerintah berupaya mendorong pondok-pondok pesantren agar tak hanya menjadi tempat belajar agama Islam, tapi juga menjadi agen perubahan sosial, motivator, dan aktor bagi masyarakat sekitarnya. Peran itu sudah dilakukan oleh beberapa pesantren, seperti Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Babakan Jampang, Ciwidey, Bandung, yang mengajak masyarakat sekitar mengelola sayur-mayur, dari budi daya hingga pemasarannya.
”Pesantren itulah yang menyalurkan produk pertanian masyarakat ke supermarket-supermarket. Para santrinya juga diajari pemasaran dengan berdasi. Jadi, jangan dikira bahwa para santri kini cuma bersarung dan berkerudung,” kata Choirul.
Masdar Farid Mas’udi, yang juga Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menuturkan bahwa peran pesantren dalam memberdayakan masyarakat sudah berlangsung lama. ”Bahkan sebenarnya pesantren umumnya didirikan dengan tujuan memberdayakan masyarakat sekitarnya,” kata pengasuh Pesantren Unggul Al-Bayan di Sukabumi, Jawa Barat, itu.
Gerakan pemberdayaan itu menguat pada 1970-an dan 1980-an, bersamaan dengan dijalankannya banyak program kemasyarakatan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat melalui pesantren, seperti yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Bina Desa, Bina Swadaya, dan P3M yang dipimpin Masdar. ”Namun program pemberdayaan masyarakat ini hanya meletakkan pesantren sebagai pintu masuk atau batu loncatan,” kata Masdar.
Masdar mencontohkan program Keluarga Berencana yang diperkenalkan ke masyarakat melalui pintu pesantren, sehingga masyarakat tak lagi mempermasalahkannya. ”Legitimasinya sudah tidak dipertanyakan lagi karena sudah didukung kiai,” katanya.
Nah, beberapa kiai kemudian berembuk untuk membentuk P3M dengan tujuan memberdayakan masyarakat melalui, oleh, dan bersama pesantren. Dasarnya adalah fikih sosial, yakni pengembangan dan kepedulian kepada masyarakat itu sebenarnya dilakukan bukan karena ada pesanan atau program atau dana dari luar, melainkan sebagai tanggung jawab pesantren itu sendiri sebagai pusat keagamaan. ”Kami berharap pengembangan masyarakat oleh pesantren itu menjadi agenda pesantren itu sendiri, bukan sekadar pintu masuk atau lampiran dari pesantren,” katanya.
Secara historis pun pesantren muncul karena ingin mengasuh masyarakat. Masdar mencontohkan peran Pesantren Tebuireng yang berdiri di tengah Kota Jombang ketika ada masalah antara petani tebu dan pabrik gula karena pabrik menetapkan harga yang rendah. Pemimpin pesantren itu menyokong pembentukan paguyuban petani, yang kemudian mendatangi pihak pabrik untuk memperbaiki harga dan budi daya tebu.
Pesantren masa kini, kata Masdar, juga merupakan perkembangan dari intervensi pemerintah melalui kurikulum dan standardisasi pendidikan, yang mulai terlihat pada 1980-an. Hal ini menyebabkan ongkos sekolah di pesantren jadi mahal dan membuat mereka berpaling ke sumber dana yang ada, yakni pemerintah.
”Inilah mulai hilangnya independensi pesantren terhadap kekuasaan. Padahal independensi menjadi ciri pesantren dan keulamaan, yaitu duduk setara dengan umara (pemimpin), jadi bisa mengatakan tidak dalam hal harus mengatakan tidak, dan mengatakan ya bila harus ya,” ujarnya.
Dampak dari formalisasi pendidikan pesantren ini juga berpengaruh pada hubungan santri-kiai. Dulu, kalau santri datang ke pesantren, pasti ia diserahkan sepenuhnya oleh orang tuanya kepada sang kiai. ”Sekarang santri datang ke pesantren itu bukan ke kiai lagi, tapi ke bagian tata usaha. Jadi, kalau urusan bagian tata usaha sudah selesai, bisa datang sowan ke kiai bisa tidak. Kiai sudah tidak pegang otoritas apa-apa di situ,” kata Masdar.
Meski demikian, masih banyak pesantren yang mencoba mandiri dengan cara masing-masing, bahkan mampu memberdayakan masyarakat sekitarnya. Untuk memotret kepeloporan pesantren itulah Tempo menurunkan laporan sejumlah pesantren di Tanah Air. Sebagian besar merupakan masukan dari Departemen Agama dan sebagian lagi muncul dalam diskusi redaksi.
Ada delapan pesantren yang diangkat kali ini, yakni Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Pesantren Al-Amin di Tasikmalaya, Pesantren As-Salafiyyah di Mlangi, Yogyakarta, Pesantren Qamarul Huda di Lombok, Pesantren Darul Arafah dan Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah di Sumatera Utara, serta Pesantren Salafiyah Safi’iyah di Gorontalo.
Lembaga-lembaga itu mencerminkan wajah lain pondok pesantren. Pesantren Sidogiri, misalnya, memelopori wirausaha melalui koperasi di pesantren, yang ternyata juga mendorong perekonomian masyarakat setempat. Kini mereka telah memiliki sedikitnya sepuluh unit usaha, dari toko buku hingga studio foto. Sayap usaha lain adalah produksi air minum kemasan bermerek Santri, penerbitan kitab, dan busana muslim.
Adapun Pondok Pesantren Qamarul Huda di Lombok mengkampanyekan lingkungan hijau dengan mengajak warga menanam pohon di halaman rumah masing-masing. Mereka juga menjadi mitra pemerintah dalam menangani kerusakan hutan dengan menanami lahan seluas 200 hektare.
Lain lagi dengan Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Provinsi Gorontalo. Pesantren ini aktif membina kerukunan dengan warga Hindu, yang dianut hampir separuh warga desa, dan warga Kristen. Pondok itu juga memelopori pembangunan desa dengan mendorong berbagai usaha, termasuk agrobisnis dan peternakan sapi. Warga juga dilibatkan dalam pemeliharaan sapi dengan metode bagi hasil.
Pesantren-pesantren ini hanya potret kecil dari begitu beragam dan banyaknya pesantren di Indonesia. Namun kepeloporan mereka setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lain di Nusantara.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment