Tuesday, December 1, 2009

Dicari: Orang Kreatif

Sebuah perusahaan di Amerika menyeleksi calon karyawannya dengan cara yang unik, yaitu dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang membutuhkan kreativitas dalam menjawabnya. Bila jawabannya dianggap benar, ia akan langsung diterima di perusahaan tersebut.

Situasinya adalah seperti ini: Anda sedang mengendarai mobil yang hanya cukup untuk dua orang penumpang saja di tengah badai yang hebat. Mobil Anda lalu melewati halte tua dan di sana Anda melihat tiga orang tengah menunggu pertolongan. Orang pertama adalah seorang nenek yang nampak sudah sekarat karena kedinginan, orang kedua adalah seorang pria yang pernah menyelamatkan hidup Anda, dan yang ketiga adalah pujaan hati yang sudah lama Anda incar.

Pertanyaannya adalah karena mobil Anda hanya muat untuk satu orang saja ¡V karena yang satu sudah Anda duduki, manakah dari ketiga orang itu yang akan Anda tolong?

Sebelum Anda tahu jawaban mana yang paling benar, Anda tentunya sudah meraba bahwa kreatifitas dalam berpikir sangat dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan tadi.

Saat ini orang-orang kreatif sangat dibutuhkan di banyak perusahaan, tidak hanya sebatas di bidang periklanan atau industri film. Karena orang-orang yang pandai berkreasi dalam setiap situasi, adalah orang yang luwes dan termasuk dalam katagori orang yang memiliki Kecerdasan Emosi. Bukankah mereka yang berhasil dalam karir dan bisnis kebanyakan adalah yang memilki kecerdasan emosi ?

Kreativitas tidak berhubungan langsung dengan bakat. Kreativitas ditentukan oleh seberapa banyak pengetahuan yang tersimpan di "perpustakaan" memori Anda. Semakin sering dan banyak Anda membaca buku, semakin banyak pulalah inspirasi kreativitas tersimpan di hard disc otak Anda yang hingga saat ini kapasitasnya belum ada yang mampu menandingi, bahkan oleh komputer tercanggih sekali pun yang pernah diciptakan di muka bumi ini.

Para ahli menemukan bahwa kemampuan otak manusia baru dipakai sekitar 5% saja. Manusia yang diyakini telah menggunakan kapasitas otaknya sebesar 7% adalah Albert Einstein. Anda bisa mencoba untuk memaksimalkan kerja otak Anda dengan mencoba menjawab pertanyaan tadi.

Kita seringkali mudah melupakan isi buku yang pernah dibaca, namun bukan berarti itu sia-sia. Yang terpenting bukanlah rinciannya melainkan inti sari atau pesan moral yang akan mempengaruhi pola pikir pembacanya. Anda mungkin sudah lupa siapa nama bapak guru gank Laskar Pelangi dalam novel "Laskar Pelangi" yang luar biasa itu, tapi Anda tentu terinspirasi oleh novel atau film itu.

Jawaban kreatif yang dianggap benar oleh perusahaan tersebut rupanya adalah: Anda turun dari mobil lalu menemui orang yang pernah menyelamatkan hidup Anda, minta tolong untuk menyelamatkan nenek tua yang kedinginan itu. Sementara itu Anda menikmati saat-saat romantis berdua bersama dengan sang pujaan hati.

Kalau Anda tadi memilih menolong nenek tua yang sekarat, tidak usah kecewa, meskipun Anda tidak diterima bekerja, setidaknya Anda sudah menolong hidup seseorang.

With Love & Respect
Sigit Risat, Inspirator Hubungan Harmonis
Copy Paste dari JOBSDB.COM

Ketika Pemimpin Kehilangan Wibawa!

Ketika Pemimpin Kehilangan Wibawa!

Salah satu kriteria pemimpin idaman adalah yang berwibawa. Yaitu yang dengan karakter dan karismanya mampu ´menyihir´ bawahannya untuk senantiasa look up to kepada mereka dan mengikuti segala perintah dan arahannya. Dengan kewibawaannya, seorang bos dihormati dan dijadikan teladan oleh para bawahannya. Begitu besarnya pengaruh wibawa terhadap kepemimpinan seseorang sampai-sampai jika hilang, hancurlah citra seorang pemimpin di mata anak buahnya.

Sebelum membahas hilangnya wibawa, ada baiknya Anda mengetahui sumber kewibawaan. Diantaranya adalah kekuasaan untuk memerintah, kemampuan memberi penghargaan, legalitas dari pihak berwenang, keteladanan, keahlian, dan karisma. Sumber-sumber ini ada yang secara alamiah memang sudah ada dalam diri seorang pemimpin, ada pula yang diperoleh sebagai bagian dari kekuasaan yang didapatkan.



Lalu bagaimanakah jika kewibawaan Anda hilang? Bawahan tidak lagi menghormati Anda, kompetensi Anda diragukan, dan perlahan-perlahan semua orang mengacuhkan kepemimpinan Anda. Jika ini yang sedang menimpa Anda, berarti saatnya untuk memperbaiki diri karena kemungkinan besar Anda telah kehilangan respect dari mereka. Karyawan Anda tidak lagi melihat pemimpinnya seperti yang mereka harapkan.

Tidak mudah untuk mendapatkan kembali kewibawaan Anda dan earn respek dari bawahan Anda. Dibutuhkan waktu dan pembuktian nyata dari Anda yang bisa mereka rasakan. Namun ada beberapa langkah awal untuk mendapatkan kembali kewibawaan Anda adalah sebagai berikut :

1. Terjun langsung.
Ketika Anda melihat karyawan mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan, jangan melihatnya sebagai tanggung jawab mereka saja. Jump in dan bantu mereka dengan tindakan atau saran nyata dan bisa diaplikasikan. Karyawan akan melihat Anda sebagai atasan yang menyadari bahwa pekerjaan mereka penting dan bersedia terjun langsung menyelesaikan masalah.

2. Appreciative.
Banyak pemimpin yang lupa memberikan penghargaan bagi karyawan mereka. Padahal memberikan penghargaan bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana seperti mengucapkan terima kasih dengan tulus. Membuat karyawan merasa dihargai adalah salah satu cara memperoleh respek mereka.

3. Visionaris.
Komunikasikan pandangan, visi dan misi Anda untuk kemajuan perusahaan kepada karyawan Anda. Jika Anda tahu apa yang harus Anda lakukan dan berani menghadapi segala tantangan di masa depan, niscaya bawahan Anda akan merasa aman untuk menyerahkan kepercayaannya pada Anda.

4. Tingkatkan empati.
Belajarlah menjadi pemimpin yang peduli. Karyawan merasa senang dengan bos yang approachable, ramah dan memperhatikan mereka. Seorang pemimpin yang disegani dan dicintai bawahan biasanya yang bisa ‘merakyat’, yang dengan segala kerendahan hatinya mau mendengarkan aspirasi dan harapan para bawahannya.

5. Berilah inspirasi.
Sebagai pemimpin Anda wajib memiliki ide-ide cemerlang demi memajukan perusahaan. Share ide Anda dengan karyawan agar mereka terinspirasi dan termotivasi. Tapi tidak perlu juga terlihat sok pintar dan malah menganggap remeh kemampuan bawahan. Berikan kesempatan pada bawahan untuk mengembangkan potensinya.

6. Be a flexible boss.
Jangan hanya terpaku pada peran Anda sebagai bos. Perluas fungsi Anda di kantor, seperti menjadi teman berdebat yang cerdas, tempat curhat yang nyaman, dan teladan yang baik. Bawahan akan melihat Anda sebagai pribadi yang ‘segala bisa’ dan dinamis sehingga mereka pun dengan sendirinya mengakui kemampuan Anda untuk menjadi seorang pemimpin.

7. Konsisten.
Respek dari bawahan akan hilang jika Anda mengingkari apa yang Anda telah yakini atau anut selama ini atau melanggar prinsip Anda yang telah diketahui orang banyak. Bagaimana bawahan akan mengikuti Anda jika Anda sendiri tidak konsisten? Jadilah teladan yang baik agar mereka yakin bahwa mereka mengikuti orang yang benar dan ke arah yang benar.

Kewibawaan yang hakiki itu melekat pada karakter bukan sekedar tampilan luar yang setiap saat bisa luntur hanya karena suatu kesalahan. Maka terapkan kewibawaan dalam kehidupan sehari-hari agar berefek lebih lama dan natural bagi karyawan Anda.

Remember! :
Apapun sumber kewibawaan Anda, pastikan bahwa Anda tetap menjadi pemimpin yang seimbang memberikan reward dan punishment.

(Dicopy paste dari artikel di JobsDB.Com)

Wajah Lain Pesantren

Jakarta(majalah.tempointeraktif.com --kurnia) Pondok pesantren tak hanya mengajarkan agama, tapi juga bisnis. Sebagian lagi menjadi pelopor pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Inilah fikih sosial mereka.
PESANTREN dan terorisme. Dua kata ini kerap dikait-kaitkan saat aksi terorisme mewabah di Indonesia belakangan ini. Harap maklum, sebagian besar pelaku dan tersangka tindak kejahatan itu memang alumni pondok pesantren.
”Stigmatisasi terhadap pesantren saat ini luar biasa dan telah menjadi sebentuk kebencian terhadap Islam,” kata Choirul Fuad Yusuf, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama, dalam diskusi di kantor majalah Tempo pada 3 September lalu.
Diskusi itu juga dihadiri Masdar Farid Mas’udi, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M); Khaeroni, Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Santri dan Layanan pada Masyarakat; dan Undang Sumantri, Kepala Subbagian Tata Usaha Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama.
Fuad menyatakan stigmatisasi itu muncul, misalnya, ketika dia menyampaikan makalah berjudul ”Pertumbuhan Luar Biasa Pesantren di Indonesia” dalam konferensi tahunan National Association of Foreign Student Advisers di Los Angeles, Amerika Serikat, akhir Mei lalu.
”Pertanyaan yang muncul dalam konferensi itu kebanyakan soal radikalisme, madrasah sebagai tempat pengkaderan teroris, apalagi pesantren. Jadi, madrasah disamakan dengan madrasah di Afganistan,” kata Fuad. Madrasah di Afganistan mendapat cap miring karena banyak militan Taliban direkrut dari madrasah tersebut.
Madrasah di Indonesia, kata Fuad, sama dengan sekolah umum, dengan muatan khusus pendidikan Islam. ”Dari 21 ribu lebih pesantren saat ini, tidak ada yang mengajarkan kekerasan, apalagi yang mengarah pada terorisme,” katanya.
Departemen Agama mencatat saat ini ada 21.521 pesantren dengan 3.818.469 santri. Jumlah pesantren itu naik hampir empat kali lipat dalam 20 tahun terakhir dan dua kali lipat dalam 6 tahun terakhir. Pada 1985 tercatat ada 6.239 pesantren dengan 1 juta lebih santri dan pada 2001 ada 11.312 pesantren dengan 2.737.805 santri. Ini tidak termasuk pesantren yang belum terdaftar di departemen tersebut.
Pondok-pondok pesantren itu tak berwajah tunggal. Ada yang mengajarkan pentingnya merawat harmoni sosial dan toleransi antar-umat beragama. Ada pula yang menggendong ideologi politik Timur Tengah, seperti Wahabisme, Ikhwanul Muslimin, dan Talibanisme. Tak sedikit dari pesantren ini yang mengintroduksi jalan-jalan kekerasan dalam menjalankan ajaran Islam.
Menurut Fuad, pemerintah berupaya mendorong pondok-pondok pesantren agar tak hanya menjadi tempat belajar agama Islam, tapi juga menjadi agen perubahan sosial, motivator, dan aktor bagi masyarakat sekitarnya. Peran itu sudah dilakukan oleh beberapa pesantren, seperti Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Babakan Jampang, Ciwidey, Bandung, yang mengajak masyarakat sekitar mengelola sayur-mayur, dari budi daya hingga pemasarannya.
”Pesantren itulah yang menyalurkan produk pertanian masyarakat ke supermarket-supermarket. Para santrinya juga diajari pemasaran dengan berdasi. Jadi, jangan dikira bahwa para santri kini cuma bersarung dan berkerudung,” kata Choirul.
Masdar Farid Mas’udi, yang juga Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menuturkan bahwa peran pesantren dalam memberdayakan masyarakat sudah berlangsung lama. ”Bahkan sebenarnya pesantren umumnya didirikan dengan tujuan memberdayakan masyarakat sekitarnya,” kata pengasuh Pesantren Unggul Al-Bayan di Sukabumi, Jawa Barat, itu.
Gerakan pemberdayaan itu menguat pada 1970-an dan 1980-an, bersamaan dengan dijalankannya banyak program kemasyarakatan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat melalui pesantren, seperti yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Bina Desa, Bina Swadaya, dan P3M yang dipimpin Masdar. ”Namun program pemberdayaan masyarakat ini hanya meletakkan pesantren sebagai pintu masuk atau batu loncatan,” kata Masdar.
Masdar mencontohkan program Keluarga Berencana yang diperkenalkan ke masyarakat melalui pintu pesantren, sehingga masyarakat tak lagi mempermasalahkannya. ”Legitimasinya sudah tidak dipertanyakan lagi karena sudah didukung kiai,” katanya.
Nah, beberapa kiai kemudian berembuk untuk membentuk P3M dengan tujuan memberdayakan masyarakat melalui, oleh, dan bersama pesantren. Dasarnya adalah fikih sosial, yakni pengembangan dan kepedulian kepada masyarakat itu sebenarnya dilakukan bukan karena ada pesanan atau program atau dana dari luar, melainkan sebagai tanggung jawab pesantren itu sendiri sebagai pusat keagamaan. ”Kami berharap pengembangan masyarakat oleh pesantren itu menjadi agenda pesantren itu sendiri, bukan sekadar pintu masuk atau lampiran dari pesantren,” katanya.
Secara historis pun pesantren muncul karena ingin mengasuh masyarakat. Masdar mencontohkan peran Pesantren Tebuireng yang berdiri di tengah Kota Jombang ketika ada masalah antara petani tebu dan pabrik gula karena pabrik menetapkan harga yang rendah. Pemimpin pesantren itu menyokong pembentukan paguyuban petani, yang kemudian mendatangi pihak pabrik untuk memperbaiki harga dan budi daya tebu.
Pesantren masa kini, kata Masdar, juga merupakan perkembangan dari intervensi pemerintah melalui kurikulum dan standardisasi pendidikan, yang mulai terlihat pada 1980-an. Hal ini menyebabkan ongkos sekolah di pesantren jadi mahal dan membuat mereka berpaling ke sumber dana yang ada, yakni pemerintah.
”Inilah mulai hilangnya independensi pesantren terhadap kekuasaan. Padahal independensi menjadi ciri pesantren dan keulamaan, yaitu duduk setara dengan umara (pemimpin), jadi bisa mengatakan tidak dalam hal harus mengatakan tidak, dan mengatakan ya bila harus ya,” ujarnya.
Dampak dari formalisasi pendidikan pesantren ini juga berpengaruh pada hubungan santri-kiai. Dulu, kalau santri datang ke pesantren, pasti ia diserahkan sepenuhnya oleh orang tuanya kepada sang kiai. ”Sekarang santri datang ke pesantren itu bukan ke kiai lagi, tapi ke bagian tata usaha. Jadi, kalau urusan bagian tata usaha sudah selesai, bisa datang sowan ke kiai bisa tidak. Kiai sudah tidak pegang otoritas apa-apa di situ,” kata Masdar.
Meski demikian, masih banyak pesantren yang mencoba mandiri dengan cara masing-masing, bahkan mampu memberdayakan masyarakat sekitarnya. Untuk memotret kepeloporan pesantren itulah Tempo menurunkan laporan sejumlah pesantren di Tanah Air. Sebagian besar merupakan masukan dari Departemen Agama dan sebagian lagi muncul dalam diskusi redaksi.
Ada delapan pesantren yang diangkat kali ini, yakni Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Pesantren Al-Amin di Tasikmalaya, Pesantren As-Salafiyyah di Mlangi, Yogyakarta, Pesantren Qamarul Huda di Lombok, Pesantren Darul Arafah dan Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah di Sumatera Utara, serta Pesantren Salafiyah Safi’iyah di Gorontalo.
Lembaga-lembaga itu mencerminkan wajah lain pondok pesantren. Pesantren Sidogiri, misalnya, memelopori wirausaha melalui koperasi di pesantren, yang ternyata juga mendorong perekonomian masyarakat setempat. Kini mereka telah memiliki sedikitnya sepuluh unit usaha, dari toko buku hingga studio foto. Sayap usaha lain adalah produksi air minum kemasan bermerek Santri, penerbitan kitab, dan busana muslim.
Adapun Pondok Pesantren Qamarul Huda di Lombok mengkampanyekan lingkungan hijau dengan mengajak warga menanam pohon di halaman rumah masing-masing. Mereka juga menjadi mitra pemerintah dalam menangani kerusakan hutan dengan menanami lahan seluas 200 hektare.
Lain lagi dengan Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Provinsi Gorontalo. Pesantren ini aktif membina kerukunan dengan warga Hindu, yang dianut hampir separuh warga desa, dan warga Kristen. Pondok itu juga memelopori pembangunan desa dengan mendorong berbagai usaha, termasuk agrobisnis dan peternakan sapi. Warga juga dilibatkan dalam pemeliharaan sapi dengan metode bagi hasil.
Pesantren-pesantren ini hanya potret kecil dari begitu beragam dan banyaknya pesantren di Indonesia. Namun kepeloporan mereka setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lain di Nusantara.