(Ditulis dalam perjalanan ke Cidokom yg macetnya bukan main krn perbaikan jalan)
Salah satu kenyataan yg membuka mata Guru2 AS tentang kualitas pendidikan pesantren adalah ketika program kolaborasi 2 sekolah di Ambon (pesantren Darul Qur'an salaf tingkat Wustho & SMP kristen Rehoboth) yg mempertemukan 50 murid (masing2 25) dalam 2 hari kegiatan "seed of friendship".
Dengan tidak mengenal satu sama lain sebelumnya kecuali melalui saling kirim surat kepada pasangan "sahabat pena" dari sekolah partnernya, mereka di libatkan dalam kegiatan2 ala pramuka, termasuk ice breaking, team working dan melukis masing2 harapan dari pasangan yang memaksa mereka mengenal satu sama lain tanpa membedakan agama mereka. Hal ini menjadi penting mengingat konflik berkepanjangan yang ada terkait isu agama (Islam & Kristen) dan misi program ini menyatukan kembali masyarakat utk hidup dgn damai.
Kualitas pendidikan pesantren terlihat jelas dalam sesi team working di hari kedua. Meskipun tidak saling kenal satu sama lain, terlihat jelas bahwa siswa2 dari Pesantren sangat dominan dalam leadership di masing2 grup yg sengaja dibentuk utk bercampur baur tanpa membedakan jenis kelamin atau agama. Secara umum, santri2 Darul Quran, terlepas dari tingkat ekonomi mereka, jauh lebih percaya diri, lebih inisiatif, lebih lepas, lebih tangkas secara sosial di hampir seluruh kegiatan. Hal ini terlihat secara mencolok oleh guru2 AS yg menjadi pengawas.
Walhasil, hal2 kecil tersebut diatas bisa merubah persepsi mereka tentang pesantren (dan Islam).
Terbukti, sesaat mendengar Jakarta di bom dan banyaknya WNA yg jadi korban, simak jawaban mereka ketika saya tanya apakah mereka takut dan khawatir dan apakah mereka akan membatalkan rencana homestay mereka di pesantren; "kami tidak takut sama sekali dan kami merasa aman berada dibawah naungan pesantren".
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment