Tuesday, April 22, 2008

Trouble with Islam Today

Perasaan gamang yang hinggap dikepalaku begitu mengusikku sehari kemarin ketika aku mendapati kenyataan bahwa aku duduk sebagai seorang interpreter dari Irshad Manji, pengarang buku "the trouble with Islam Today" di acara launching buku terjemahannya "Beriman Tanpa Rasa Takut" di Perpustakaan Nasional.

Kenyataan minor pertama adalah bahwa aku bukanlah seorang interpreter yang baik. Aku mungkin telah hidup lebih dari 2 tahun di negeri biangnya bahasa ini dan lumayan fasih memahami dan berbicara dalam bahasa Inggris. Tapi, untuk menginterpretasi dan lalu menyampaikannya langsung didepan khalayak ramai it's totally different matter. Perlu kecerdasan Linguistik yang tinggi dan kusadari memang sejak duduk dibangku sekolah menengah kalau kecerdasan Linguistik bukanlah bakatku. Keberadaanku disana hanyalah kesediaanku membantu temanku sebagai penyelenggara. Ini kesempatan kedua aku menjadi interpreter di level nasional dan aku nyaris menghancurkan keduanya. Ditambah bidang yang dibahas adalah bidang yang sebenarnya asing dan tidak menarik bagiku, Gender equality. And the silly thing is, I haven't even read the speaker's book! Gosh! it was really hard day for me. Since then, my head keep telling me, that's enough for interpreting business. And anyway, I think I'm not supposed to be interpreter but it is Me (an Inspiring leader to be, Amieeeeeen...) the one whom supposed to be a speaker and be interpreted! (well, of course in the field I master in)

But more important thing is the content of the talkshow it self. One of the most important issues in the forum is Ijtihad. Surely it's very significant aspect of Islam. Islam was mastering highest position in knowledge lead by Ijtihad. Peradaban-peradaban Islam paling membanggakan ketika kaum muslim di masa kejayaannya menguasai lebih dari setengah daratan dunia dihasilkan dari proses ijtihad para pemikir dan intelek muslim. Hampir seluruh bidang karya tertinggi, science masterpieces, best Legal principles, dihasilkan oleh Ummat melalui proses Ijtihad. Ibnu Rusyd, Ibn Sina, Imam 4 Mahzab adalah beberapa contoh. Eropa dan dunia barat mendapat pencerahan pada era renaissance setelah menikmati hasil proses ijtihad pemikir2 muslim abad pertengahan melalui transormasi pengetahuan kepada mahasiswa2 mereka di universitas2 Islam di pesisir selatan Eropa.

Lalu pertanyaannya: Kemana hilangnya budaya ijtihad dari ummat Islam? kenapa justru dizaman informasi technology yang menghilangkan batas fisik dunia ini, banyak sebagian ummat Islam yang mundur selangkah kebelakang dengan meninggalkan budaya ijtihad? apa sebenarnya yang terjadi? semakin malaskah ummat?

Aku pribadi setuju bahwa pintu dan budaya ijtihad harus dikembalikan didalam budaya ummat Islam. Reinterpretasi dan dialektika permasalahan2 yang ada diummat in some extent harus kembali dibahas. Banyak permasalahan dunia era teknologi yang masih berada di wilayah abu-abu dan tidak terjamah hukum Islam. Tapi, siapa yang bertanggung jawab akan masalah ini? apakah setiap orang berhak berijtihad? ataukah ada syarat2 tertentu untuk bisa berijtihad? pertanyaan2 ini berujung pada satu pertanyaan yang berkaitan dengan Irshad Manji; siapa yang berhak untuk berijtihad?

Salah satu ketidak setujuan fikiranku dengan Irshad Manji adalah dengan pernyataan bahwa setiap orang berhak untuk berijtihad. Mungkin ia tidak mengatakannya secara explisit, tapi sebagai buktinya, ia sendiri merasa berhak berijtihad dan maka lahirlah buku yang ditulisnya sebagai hasil ijtihad.
Fikiran ini menurutku sangat berbahaya.
Bahkan jika ditinjau dari sisi manapun, akademikkah atau tidak, fikiran ini menurutku tidak logis.
Bayangkan jika pintu ijtihad dibuka untuk siapapun dan semua orang berlomba-lomba untuk berijtihad, bukankah bisa dibayangkan akan timbul kekacauan karena banyak hasil2 ijtihad yang tidak karuan, karena pada dasarnya manusia cenderung kepada hawa nafsunya. Batasan-batasan dan syarat-syarat haruslah terpenuhi sebelum seseorang bisa berijtihad. Kualifikasi akademik maupun kualitas dan integritas personal menjadi syarat mutlak tidak saja bagi mujtahid bahkan pada siapa saja. Hal tersebut terekam baik dalam kisah2 periwayatan hadits Rasul, dimana level validitas hadits bisa berkurang seiring dengan kurangnya integritas para perawi.

Bukankan berlaku juga dinegeri maju, bahwa setiap permasalahan haruslah dikembalikan pada ahlinya, apalagi jika itu menyangkut kemaslahatan banyak orang? bukankah budaya referensi untuk scholar2 mutlak menjadi ukuran di lingkungan universitas barat hingga saat ini? lalu kenapa seorang Irshad Manji yang tidak menguasai bahasa arab sama sekali (bahasa dimana AlQuran diturunkan) dan juga mungkin karena itu tidak mengerti sepenuhnya konteks lingkungan asbabun nuzul ayat2 alQuran berani berijtihad, seperti misalnya menganggap Homosexual diperbolehkan dalam Islam? bukankah ia sendiri salah satu yang mendukung bahwa Al-Quran harus di reinterpretasikan sesuai konteks zamannya? bukankah seharusnya seseorang harus bisa terlebih dahulu menginterpretasi sebelum meng re-interpretasi? (gosh! I really hate this interpretation business!)

Tapi, terlepas dari pertanyaan2 itu, aku sendiri merasa kecewa dengan kualitas pribadiku dan lingkunganku akan budaya critical thinking sebagai salah satu elemen ijtihad itu. Pendapatku justru mengatakan bahwa di critical thinking itulah sumber permasalah ummat Islam saat ini.

Pendidikan yang salah kaprah! dan semua ini berawal dari sistem pendidikan di negeri ini yang terlalu berorientasi pada "HASIL" dan bukan "PROSES"! Hasil UN jauh lebih penting daripada minat membaca. Nilai IPK jauh lebih keramat daripada keahlian berfikir kritis. Menghapal pelajaran jauh lebih mulia daripada berkreasi dengan penuh imajinasi.

padahal bahkan Einstein sendiri berkata bahwa " Imajinasi jauh lebih penting daripada Ilmu pengetahuan itu sendiri"

Perasaan itu terus terang mengusik hidup tenangku dan menimbulkan banyak pertanyaan.
Kesalahan siapa ini? Salahkah aku dan mereka yang tidak mempunyai pertanyaan2 kritis? bodohkah aku karena seingatku aku trauma berpendapat karena cemohan bapak guru di sekolah dasar dulu di ruang kelas di pelajaran matematika sesaat aku memberanikan mengangkat tangan dan ternyata memberi jawaban yang salah versi bapak guru?

1 comment:

Anonymous said...

Manusia muslim intelek zaman ini tidak bisa membedakan antara berimajinasi dan berijtihad. Seakan setiap hasil pemikiran bisa disamakan dengan ijtihad yang memiliki rambu-rambu lalu lintas.Tentang perkara apa yang sudah jelas, boleh melintas atau dilarang melintasi.