Friday, August 12, 2011

Bullying dan Urgensi Revitalisasi OSDN


Bismillahirrahmanirrahiem, wa maa nuriidu illa-l-ishlah.

Akhir-akhir ini sedang hangat kasus bullying di lembaga kita tercinta dan banyak mendapat perhatian khalayak luas, termasuk orangtua dan alumni.

Terus terang, ini agak mengusik perhatian saya dan seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih mendalam dari seluruh stakeholder Darunnajah.

Sebelumnya, harus difahami terlebih dahulu bahwa dalam menangani kasus bullying serupa, lembaga Darunnajah dan para pengasuh tentu tidak tinggal diam dan saya percaya para personil, terutama di Biro Pengasuhan Santri telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi dan mengungkap kasus2 tersebut.

Tetapi apakah cukup tindakan mengungkap kasus yang menurut saya masih bersifat responsif (dan kuratif) tersebut? Bukankah tindakan pencegahan adalah lebih baik dari pengobatan?

Maka sudah seharusnya dikepala kita timbul pertanyaan, Apa sebenarnya AKAR MASALAH yang menyebabkan kasus semacam ini sering terjadi? Lalu solusi atau langkah apakah untuk jangka panjang yang harus diambil untuk memperbaiki keadaan?

Berfikir sistem; Itu saya rasa kunci jawabannya.

Saya akan coba menjabarkannya dengan menggabungkan pengalaman pribadi, baik menjadi santri ataupun pengasuh, dengan beberapa konsep manajemen yang saya pelajari.

Seperti yang saya ungkapkan tadi, menurut analisis pribadi saya, ini adalah sebuah kelemahan dari sistem kepengasuhan yang dijalankan saat ini.

Beberapa permasalahan utama dan mendasar kenapa kadang terjadi kecolongan kasus serupa menurut analisis saya adalah sebenarnya sesuatu yang sederhana:

“berubahnya sistem dan struktur kepengasuhan santri di Darunnajah yang konsekwensinya mengakibatkan;
a). lemahnya sistem kontrol yang ada dan
b). tidak maksimalnya OSDN sebagai wadah penyaluran potensi serta wadah pendidikan karakter dan kepemimpinan”.

Akan saya coba jelaskan lebih lanjut.

Sebuah lembaga, baik itu profit ataupun non-profit hampir dipastikan mengalami phase yang sama dalam pertumbuhannya, begitu pula permasalahan-permasalahan khas yang biasa timbul di setiap tahapan. Begitu pula solusi-solusi yang biasanya dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ini digambarkan secara baik dalam sebuah Phases of Growth model yang dikemukakan L.E.Greiner melalui tulisannya “Evolution and revolution as organizational growth” (1972). Bisa dilihat dalam diagram dibawah.



Saat ini, saya lihat institusi Darunnajah di bidang kepengasuhan santri, dimana kasus ini menjadi tanggung jawabnya, ada di level ke 3.

Kepengasuhanan santri merupakan tulang punggung lembaga pesantren dan merupakan keunggulan dibanding sekolah-sekolah non-pesantren. Di Darunnajah, bidang ini di pimpin langsung oleh KH.Mahrus Amien dibantu oleh Biro Pengasuhan Santri (BPS).

Dalam penjelasan Greiner, sebuah lembaga yang berada di phase ini, isu yang utama yang harus dilalui lembaga tersebut untuk bisa terus berkembang adalah isu kontrol (pengawasan). Sedang solusi yang biasanya efektif bisa dipergunakan untuk menyelesaikan adalah dengan pendelegasian (delegation).

Ilustrasinya begini, sebagai seorang manusia biasa, setiap orang tentu punya span control (jangkauan kontrol) yang terbatas. Rasio ideal dalam kontrol adalah kira-kira 1:10. Satu orang mengontrol 10 orang. Begitupun Ayahanda Kiai Mahrus sebagai Pengasuh dan Pimpinan dibidang kepengasuhan santri.

Beliau tidak mungkin langsung mengontrol 2200 santri karena jangkauan kontrolnya terlalu luas. Maka, beliau butuh asisten. Asisten tersebut adlah staff pengasuhan santri yang berjumlah sekitar 10 hingga 20 (10 putra dan 10 putri) sehingga kontrol beliau bisa efektif.

Staff pengasuhan santri inilah yang bertugas menggerakkan dan mengontrol santri.

Apakah mereka langsung mengontrol seluruh 2000-an santri Darunnajah? Tentu idealnya tidak karena jangkauan kontrol (span of control) nya masih terlalu luas dan akan menjadi tidak efektif. (1:100). Apalagi mengingat intensitas kerja dan permasalahan yang mungkin timbul karena santri muqim selama 24 jam sepanjang tahun.

Untuk itulah seharusnya mereka memberdayakan santri senior yang terlibat di OSDN. (biasanya sekitar 100 hingga 200 santri yang terlibat di dalam OSDN). Sehingga span of control-nya pun menjadi ideal. (rasio 1:10) Ini pula yang di terapkan di PM Gontor hingga detik ini.

OSDN tersebut yang selanjutnya akan menggerakkan dan mengontrol 2000-an santri tersebut melalui sub-struktur dibawahnya termasuk organisasi di rayon-rayon dan yang terkecil di kamar kamar.

Dibawah ini adalah pola struktur kepengasuhan Darunnajah di tahun 80-90-an (penulis nyantri di DN mulai tahun 88-91). Sistem ini diadopsi dan diterapkan dengan sangat efektif di PM Gontor Ponorogo hingga saat ini (penulis nyantri di Gontor th 91-96).




Permasalahannya sekarang timbul karena berubahnya sistem penggerak roda ini, terutama di roda OSDN yang tidak lagi berjalan seperti fungsi utamanya.

Mari kita lihat perubahan struktur beberapa tahun terakhir. Begini kira-kira strukturnya (de facto tapi mungkin tidak de jure).




Apa yang berubah?

Mungkin tidak banyak struktur yang berubah selain bahwa salah satu yang mencolok adalah gemuknya struktur dibawah Kiai yang berada di level asatidz (karena untuk kepengasuhan santri di luar kelas, di level ustadz, selain BPS ditambahkan pula kelompok yang tergabung di dalam Musyrif).

Selain itu, bukan sekedar jumlah, tapi ada juga catatan bahwa ada pelimpahan dan pengurangan tanggung jawab dan wewenang yang dulu diemban oleh OSDN kepada personal di level asatidz.

Antum ingat kan dulu waktu kita nyanti di DN zaman 80 atau 90-an bagaimana berperannya OSDN dalam pendidikan santri keseluruhan?

Saya masih ingat bahwa orang yang ditakuti dan disegani adalah Ketua OSDN dan Bagian Keamanan. Dari izin pulang sampe dibotak urusannya sama Bagian keamanan sebagai bagian dari OSDN. Absen kamar pun intens diadakan. Merekalah yang bertugas mengontrol adik-adik kelas mereka, mendisiplinkan mereka dan membimbing mereka dalam kesehariannya.

Ketertiban kamar, urusan bulis, bahkan keamanan lingkungan, kebersihan menjadi tanggung jawab bersama santri dengan adanya bulis.

OSDN itulah yang juga menjadi wadah pendidikan kepemimpinan, wadah pelatihan keorganisasian, wadah pengembangan karakter sekaligus pemberdayaan kemandirian santri. Intinya, di OSDN inilah justru nilai-nilai keunggulan tersebut terkandung.

Lebih lanjut lagi, OSDN itu jugalah yang menjadi sarana “pelampiasan” energi dan potensi yang besar dari santri senior yang mulai tumbuh dewasa, tentunya dalam bentuk yang positif.

Mereka yang berprestasi dan berakhlak bisa menjadi pengurus. Mereka yang galak mungkin cocok jadi bagian keamanan. Mereka yang pintar bahasa dipercaya bagian bahasa, dsb. Tentunya dengan bimbingan dan pengawasan ketat Pengasuhan santri.

Mereka dilibatkan dan menjadi partner bagi pengasuh untuk mengelola diri sendiri dan adik-adik mereka.

Santri menjadi subjek pendidikan.

Maka jika ada yang agak kebablasan, ataupun melakukan kesalahan dalam menghukum misalnya, hal tersebut adalah wajar karena memang merupakan sebuah proses pembelajaran (kepemimpinan) dan kaderisasi.

Hal inilah yang hilang atau setidaknya melemah dari Darunnajah.

Pertanyaannya, kenapa?

Salah satu alasan, Kemungkinan besar karena lokasi khas Darunnajah yang terletak di perkotaan dan kurangnya transformasi (pemahaman) nilai-nilai kependidikan terhadap stake holder Darunnajah (walisantri, alumni, masyarakat dsb).

Tanpa idealisme kepengasuhan yang kuat, sebagai pesantren yang berlokasi di Ibukota, DN menjadi sasaran tembak yang rapuh dari kemarahan dan ketidakfahaman sebagian wali santri akan sistem pendidikan yang ada.

Contoh seperti komentar di FB terkait masalah bullying yang mengatakan bahwa “anak 17 tahunan masih ingusan disuruh ngurus ade2 kelasnya jadi pengurus OSDN, psikologinya sebenernya gak bener sama sekali” atau semacamnya adalah komentar yang sering dikumandangkan oleh wali santri yang tidak faham pendidikan pesantren yang dianut oleh Darunnajah.

Walhasil, Karena banyaknya tekanan dari pihak luar, (terutama wali santri ) wewenang yang seharusnya di delegasikan oleh pimpinan kepada santri senior mulai dikurangi. Itulah yang terjadi dengan OSDN, dilemahkan dan dihilangkan keterlibatannya serta dikurangi tanggung jawabnya didalam mengurus santri dan kehidupan mereka sendiri.

Contohnya, Pengelolaan sub-sub kamar di rayon-rayon-pun yang dulu menjadi sarana pendidikan kepemimpinan dan kemandirian untuk santri senior mulai dilimpahkan (meskipun tidak sepenuhnya) kepada muysrif (dari unsur Ustadz dan Mahasiswa), termasuk izin keluar, mendisiplinkan santri dsb.

Diluar itu, keamanan lingkungan yang dulu menjadi tanggung jawab santri, seperti bulis, baik siang maupun malam pun digantikan dengan satpam. Kebersihan lingkungan yang dulu menjadi tanggung jawab bersama santri-pun mulai diserahkan kepada karyawan. (meskipun Alhamdulillah, tanggung jawab ini mulai dikembalikan meskipun belum sepenuhnya)

Sederhananya, santri yang dulu dipercaya menjadi subjek, bisa dibilang saat ini diposisikan sekedar menjadi objek.

Dalam konsep manajemen oleh Greiner tadi diatas, pendelegasian yang seharusnya menjadi solusi untuk sistem kontrol efektif lembaga di tahap ini tidak semulus yang diinginkan.

Walhasil, Ayahanda Mahrus Amin saat ini “terperangkap” didalam tugas dengan jangkauan kontrol yang sangat luas. (1 kiyai:100 asatidz)

Dalam tataran praktek harian, Ayahanda setiap subuh setiap harinya mencoba mengatur, mengomandoi dan mengontrol melalui forum majlis fajr, tidak saja dengan mengumpulkan 10-an asatidz pengasuhan santri, tetapi juga sekitar 100-an musyrif yang terdiri dari ustadz-ustadz muda dan mahasiswa ma’had ali tadi.

Rasio kontrol beliau pun menjadi 1:100. Seingat saya jarang sekali seluruhnya bisa kumpul, rata-rata perhari hanya 20-30% yang hadir. (Hal ini diperparah kualitas 100-an asatidz tadi bukanlah dipilih atas dasar kualitas pilihan, tetapi hanya kebetulan tinggal didalam karena masih bujang).

Maka Antum bisa tebak apa yang terjadi kan?

Dengan besarnya rasio tersebut, sistem kontrol menjadi tidak efektif.

Diluar itu, dengan tidak maksimalnya pemberdayaan santri (senior), maka itu sebuah bukti akan hilangannya sebagian besar kesempatan untuk mengembangkan diri terutama dibidang kepemimpinan karena memang tidak diberi kepercayaan. Energi dan potensi mereka pun tidak tersalurkan secara terprogram dan mereka akan mencari jalan sendiri mengeluarkan energi tersebut. Bullying pun rawan muncul.

Tentunya hal diatas bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan timbulnya kasus-kasus bullying. Tetapi minimal saya percaya bahwa jika sistem kepengasuhan bisa dikembalikan kepada kondisi idealnya, insya Allah bisa menambah efektifitas sistem kontrol dan mengurangi kasus-kasus yang ada.

Banyak yang harus dilakukan jika ingin mengembalikan kepada kondisi ideal.

Secara bertahap, diantara yang harus dilakukan adalah secara bertahap dan sistematis mengembalikan tanggung jawab dan wewenang kepada OSDN. Kembalikan wewenang mengatur dan mengelola rayon-rayon dan kamar-kamar kepada santri senior. Beri mereka tanggung jawab dan wibawa dihadapan santri junior. Libatkan mereka dalam kepanitiaan secara maksimal, minimalisir keterlibatan asatidz dan batasi hanya sebagai pembimbing. Hidupkan kembali club-club ekstra kurikuler. Buat program-program yang bersifat kompetitif sehingga ada persaingan yang konstan.

Sibukkan mereka dengan program yang terstruktur dan kontinyu sehingga tidak ada waktu kosong tersisa.Innasyabaaba wal faroogho wa-l-jidata mafsadatun lil mar’I ayyi mafsadatin.

Intinya adalah; revitalisasi OSDN.

Karena saya yakin, bahwa penugasan untuk santri (tentunya dengan bimbingan dan pengawasan para asatidz) adalah bentuk pendidikan terbesar yang akan mereka terima.

Is it still experience is the best teacher?

Wallahu a’lam bisshowab.

4 comments:

Anonymous said...

ane setuju dgn pendapat antum, tapi ingat yg dibenahi juga kepemimpinan pondok yg diktator, spt direktur pondok yg jika ada asatidz yg tdk setuju/kontra pendapat dgnnya langsung pecat, msh ada selain KH.Makhrus yg mengatur pondok yg tdk ada yg bisa membantahnya, ane ga mau nyebut nama n ente pasti taulah siapa beliau ! krn merosotnya DN terjadi setelah adanya prubahan struktur kepemimpinan yg dahulu dikendalikan langsung oleh KH.Makhrus. (waktu alm KH.A.Manaf masih hidup). tapi s/d sekarang ada dualisme kepemimpinan yg tak tergantikan krn sbg owner/pewaris.

Anonymous said...

Alhamdulillah dengan apa yg sudah ane dapat selama 6 tahun di Darunnajah..
Senang membaca tulisan saudara Dedy yg melihat dari sisi ilmiah dan pengalaman langsung. Ane kira itu sudah menjadi jawaban dari perdebatan yg selama ini berkembang..
Masalah kepemimpinan saat ini, ane rasa sudah tidak relevan lagi alumni utk campur tangan. Tidak bijak rasanya utk ikut campur apa lg terkait dg otoritas pimpinan pesantren, karena sama sekali alumni hanya alumni. Kita hanya bisa mengkritik dan jgn berfikir kritik kita dipakai atau tidak. Tugas alumni adalah terus berkembang di bidang masing2 setinggi mungkin demi mengharumkan almamater..
Ane rasa ukuran merosot juga harus dijabarkan secara detail, tidak bs dilihat hanya dari beberapa sisi. Ane yakin semua pimpinan pesantren selalu berfikir ingin memajukan pesantrennya walau ada yg harus dikorbankan.
Dualisme kepemimpinan atau perubahan struktur bukan ranah alumni utk ikut campur, sebagaimana rumah tangga kita yg tidak bs sembarang org bs ikut intervensi.
Saran ane:
(1) cukup jadi santri dan jgan jadi ustadznya;
(2) jgan berfikir jd santri atau ustadz saat memasuki anak ke DN, posisikan diri jadi org tua yg sudah siap terima resiko apapun, sehingga anak jg nyaman belajar;
(3) memasukkan anak ke pesantren tidak cukup siap materi, tapi juga harus siap mental
(4) 6 tahun jadi alumni belum cukup bekal kita utk mengkritik almamater yg sudah begitu besar dan lama berdiri (jgankan alumni, keluarga aza belum tentu di dengar)..
wallahu a'lam

Anonymous said...

Dugaan praktek bullying di kalangan santri tengah mencuat, dan para alumni pun berupaya menyikapinya dengan bijak dan tepat. Adapun praktek serupa di kalangan guru... siapa yang tahu? semoga tidak terjadi, amiin...

Wallahu a'lamu bi-asshowaab..

Anonymous said...

alumni kalau di bilang mengurui sih ngak mungkin lah tapi kita ingin share sedikit kira kira apa yang bisa kita bantu untuk almamater atas permasalahan bullying tsb baik dari membikin questioner seminar atau hal hal lain yang di perlukan. kalau alumni harus siap dengan resiko bullying saat alumni memasukan anak anak mereka ke suatu sekolah ... ngak ada yang sanggup pak... akmil aja yang jelas jelas tujuannya untuk membuat mesin penghacur atau pembunuh danpelindung (tentara) ngak pake sistem bullying semua terukur dan terkontrol