Sadarkah kita, bahwa sistem pendidikan yang diterapkan oleh kita dan sekolah-sekolah umum di Indonesia bukanlah merupakan sebuah sistem pendidikan, tetapi lebih merupakan sistem eliminasi?! Sistem ini mengeliminasi dan membedakan mereka yang dianggap cerdas (secara sempit melalui ukuran IQ, yaitu UJIAN) sekaligus mencap sisanya sebagai ”mereka yang tidak pintar”.
Kecerdasan yang diukur oleh ujian dan ditampilkan dalam raport (IQ dan IP) hanya mengukur kemampuan bahasa, matematika dan kemampuan mengingat data pelajaran yang semuanya berkaitan dengan kemampuan kerja otak kiri, sedang kemampuan kreativitas, kapasitas emosi, hubungan sosial dan nuansa spiritual termasuk juga kecerdasan emosional (EQ) yang merupakan hasil kerja otak belahan kanan dari manusia tidak tersentuh oleh ukuran-ukuran sistem pendidikan di kebanyakan sekolah umum di Indonesia.
Padahal, menurut beberapa ahli, pada kenyataannya, ukuran prestasi akademik yang biasa dinilai dengan UJIAN tidak berkaitan banyak (hanya 10%) dengan keberhasilan hidup mereka nantinya. Banyak contoh dari mereka yang berhasil di dalam hidup tidak terlalu baik dalam catatan akademiknya. Thomas Alfa Edison, penemu paling produktif dunia bahkan pernah dicap sebagai ”terlalu lemah otaknya” oleh gurunya dan hanya merasakan 3 bulan di bangku sekolah. Begitu juga Henry Ford, salah satu orang paling sukses di dunia otomotif. Bill Gates, Jeff Bezos, Michael Dell adalah beberapa orang terkaya di dunia saat ini yang berhasil melalui keunggulan kreativitas mereka di bidang teknologi informasi yang tidak pernah merasakan bangku kuliah (Bill Gates drop out dari kuliahnya di semester 2)..
Begitu banyaknya contoh dari keberhasilan pribadi pribadi kreatif yang tidak merasakan pendidikan akademik menimbulkan pertanyaan tentang keefektifan sistem pendidikan umum yang ada. Apakah bijak memaksakan secara rata pola belajar anak didik untuk mencapai prestasi akademik jika tiap pribadi adalah berbeda secara alami? Bukankah likulli syai’in maziyyah? each of us is unique, just like everyone else? Bahkan kalau kita mau mencari, asal kata pendidikan dalam bahasa inggris, education, berasal dari kata latin, educare, yang berarti mengeluarkan. Seyogyanyalah, pendidikan harus kembali ke asal tujuannya, yaitu mengeluarkan potensi alami anak didik, mendorong anak untuk menggunakan otak (kiri dan kanan) nya secara maksimal sehingga bisa berfikir kreatif dan imajinatif dan bukannya memaksa mereka mengingat data pelajaran di kepala mereka yang merupakan kerja otak kiri mereka.
Dalam bukunya Frames of Mind (kerangka pikiran), Howard Gardner (1980) mengidentifikasi 8 (delapan) kecerdasan (Multiple Intelligence) dengan kapasitas yang berbeda-beda pada setiap orang:
Linguistik-verbal: Kejeniusan yang sekarang dipakai oleh sistem pendidikan kita untuk mengukur IQ seseorang. Ini merupakan kemampuan bawaan seseorang untuk membaca dan menulis kata-kata. Ini adalah kecerdasan yang sangat penting karena hal ini merupakan cara utama umat manusia mengumpulkan dan membagikan informasi. Para wartawan, penulis, pengacara dan guru sering kali dianugerahi kejeniusan macam ini.
Numerik: kecerdasan yang berhubungan dengan data yang diukur dalam angka-angka. Seorang ahli matematika dan akuntan handal dianugerahi dengan kejeniusan ini.
Spasial: kejeniusan yang dimiliki oleh banyak orang kreatif-para artis dan desainer termasuk para pembalap dan atlit sepak bola. Kemampuan seseorang untuk menyebrang jalan ramai lalu lintas dan bisa memperkirakan kapan sebuah mobil akan sampai pada titik tertentu adalah contoh dari kecerdasan ini.
Musikal: Kejeniusan yang dimilik oleh banyak musikus, komposer, pemain band dan pencipta lagu.
Fisik: Kecerdasan yang dianugerahkan pada banyak atlet dan penari besar. Ada banyak orang yang tidak berhasil baik di bangku sekolah dianugerahi secara fisik. Itu kerap kali adalah orang-orang yang belajar dengan melakukan-sering disebut pembelajaran ”dengan mengoperasikan”.
Intrapersonal: Kejeniusan yang kerap disebut ”kecerdasan emosional”. Ini adalah apa yang kita katakan pada diri kita, misalnya, ketika kita takut atau marah. Sering kali, orang tidak berhasil dalam sesuatu bukan karena kurangnya pengetahuan otak, tetapi karena mereka takut gagal. Misalnya banyak orang pandai dengan peringkat baik namun kurang berhasil hanya karena mereka hidup dalam rasa takut berbuat salah atau gagal. Banyak orang tidak menghasilkan banyak uang hanya karena mereka takut kehilangan uang. Dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel Goleman mengutip seorang humanis abad enam belas, Erasmus dari Rotterdam, yang menyatakan bahwa pemikiran emosional dapat menjadi dua puluh empat kali lebih hebat daripada pemikiran rasional. Kebanyakan dari kita telah mengalami kekuatan otak emosional melebihi otak rasional, terutama bila kita lebih takut daripada berpikir logis atau ketika kita mengatakan sesuatu yang kita tahu seharusnya tidak akan pernah kita katakan. Kecerdasan ini dianggap kecerdasan yang paling penting dari semua kecerdasan, karena kecerdasan ini adalah kontrol kita atas apa yang kita katakan pada diri kita sendiri. Ini adalah saya yang berbicara pada diri saya dan anda berbicara pada diri anda.
Interpersonal: Kejeniusan yang ditemukan dalam diri orang yang dapat berbicara atau berkomunikasi denga mudah dengan orang lain. Orang dengan kejeniusan ini sering kali adalah komunikator yang kharismatis, penyanyi, pengkhotbah, politikus, aktor, salesman dan penceramah yang hebat.
Lingkungan : Kejeniusan yang berasal dari umat manusia terhadap hal-hal di sekeliling mereka. Ada orang-orang yang secara ntural mempunyai bakat untuk berhubungan dengan hal-hal seperti pohon, tanaman, ikan, lautan, binantang dan tanah. Ini adalah kejeniusan yang dimiliki oleh para petani, pelating binatang, ahli kelautan, penjaga dan pemelihara taman yang hebat.
Lebih jauh lagi, dalam bukunya yang berjudul Intelligence Reframed, Gardner menambahkan tiga kecerdasan yang tak kalah pentingnya; kecerdasan naturalis, kecerdasan eksistensia, dan kecerdasan spiritiual (Gardner, 1999). Pasangan Ilmuwan Ian Marshal dan Danah Zohar juga memperkenalkan spiritual intelligence sebagai ultimate intelligence atau kecerdasan yang paling utama. Semuanya mendasari maraknya perkembangan wacana dan pelatihan kepribadian yang berkembang di masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar beberapa tahun terakhir.
Sekarang, kalau kita perhatikan format pelatihan EQ, ESQ maupun Outbound-Outbound peningkatkan kepribadian melalui program program peningkatan kepribadian yang ada, bukankah sebenarnya tidak jauh berbeda dari program kepengasuhan santri di kebanyakan pondok pesantren?. Bukankah itu menandakan kesadaran dan pengakuan masyarakat (bahkan barat) bahwa sistem pendidikan yang unggul adalah sistem pendidikan pesantren dengan kepengasuhan santrinya? Bahwa sumber daya manusia yang akan survive dan berhasi adalah mereka yang tidak hanya unggul secara IQ, tetapi juga kematangan emosional, bahkan kematangan spiritual?
Lalu? Apa yang selayaknya dilakukan oleh pengasuh Pondok Pesantren untuk meningkatkan kualitas santri?
Pertama, kita harus merubah penilaian kita tentang orang pintar, mereka yang cerdas, siapa yang jenius, karena setiap pribadi anak adalah berharga, cerdas, pintar dengan kelebihannya masing-masing. Dengan merubah pandangan kita, diharapkan kita bisa memahami lebih dalam perbedaan tiap pribadi anak murid dan pada akhirnya mendorong anak untuk mengeluarkan potensi mereka sesuai bakat dan minat masing masing pribadi anak.
Kedua, sebagai penyelenggara lembaga pendidikan pondok pesantren, mereka harus menyadari bahwa mereka punya kesempatan banyak untuk mengembangkan keseluruhan potensi anak didik, termasuk delapan kecerdasan diatas. Bagaimana? Tentunya dengan memberi kesempatan anak didik untuk berkarya melalui bakat dan minatnya masing masing melalui kegiatan extra kurikuler.
Kegiatan extra kurikuler, tentunya yang sesuai dengan alam Islam di Pondok Pesantren harus didukung lebih jauh. Kepengasuhan santri harus selalu menjadi ujung tombak pendidikan di Pondok Pesantren. Latihan keorganisasian dan kepimimpinan sebagai pelatihan kecerdasan intrapersonal, muhadloroh sebagai wujud dari kecerdasan interpersonal, kegiatan kesenian, kepramukaan dan kreativitas, lukis, kaligrafi, desain grafis sebagai wujud dari kecerdasan spasial, musik, olahraga sebagai wujud kecerdasan fisik harus diutamakan dan didukung sepenuhnya bila Pesantren tidak ingin ditinggalkan zaman. Intinya, pesantren selayaknyalah mendorong santri untuk mengenal dirinya sendiri dan memberi kesempatan para santrinya untuk mengembangkan potensi natural positif dan kreativitas mereka dibawah bimbingan pengasuh.
Kualitas imajinasi dan kreativitas seseorang (yang menurut Einstein lebih penting dari pengetahuan itu sendiri) serta kualitas kesadaran, kemauan serta kemampuan untuk belajar terus menerus dari kehidupan (dan bukan hanya dari guru dikelas) sudah seharusnya menjadi karakter santri selulusnya mereka dari pondok, karena saat itulah hidup mereka dimulai dengan jalannya masing-masing. Maka dari itu, membekalinya dengan pengetahuan akan potensi diri mereka sendiri harus menjadi salah satu tugas utama pengasuh di Pondok Pesantren sehingga santri benar-benar memahami hikmah dari kata kata halaka’umru’un lam ya’rif qodrohu.
wallahu a'lam bisshowab..
Dedy
Untuk melihat sedikit video tentang Multiple Intelligence di Pesantren; http://uk.youtube.com/watch?v=CwoVBnXUCqk
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment